2. Perencanaan dan tata kelola pemerintahan

Indonesia berkomitmen untuk mencapai target yang cukup ambisius dalam penerapan energi bersih dan pengurangan emisi di mana hal ini memerlukan aksi kebijakan yang kuat untuk memobilisasi sejumlah besar pembiayaan dan investasi untuk mewujudkan target tersebut. Banyaknya bidang kebijakan dan instansi pemerintah (termasuk di tingkat daerah) yang terlibat dalam upaya pencapaian target, tata kelola pemerintahan yang baik serta mekanisme koordinasi yang efektif, merupakan faktor pendukung yang penting. Selain itu, penentuan jalur jangka panjang untuk mewujudkan transisi energi bersih, dengan target dan tonggak yang jelas, didukung oleh komitmen politik yang kuat serta pemantauan dan evaluasi yang transparan untuk memantau kemajuan, akan sangat penting untuk membangun kepercayaan pasar dan memberikan sinyal awal kepada investor tentang pengembangan pasar di masa yang akan datang.

Dewan Energi Nasional (DEN) adalah instansi utama yang bertanggung jawab atas isu energi lintas sektoral dan mengawasi pelaksanaan pencapaian target energi nasional yang diuraikan dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) di berbagai kementerian. DEN juga berperan penting untuk membimbing dan membantu pemerintah daerah dalam menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan mendukung provinsi yang berminat mengembangkan energi bersih. Dalam praktiknya, hanya sedikit rekomendasi DEN yang mencapai tahap implementasi karena tantangan dalam koordinasi dan implementasi internal, terlepas dari peran penting DEN di bawah Presiden Indonesia dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai ketuanya. Selain itu, sejak tahun 2009 hingga 2020, pertemuan rutin untuk membahas dan menyelesaikan permasalahan energi jarang dan tidak dilakukan dengan konsisten. Selama periode ini, DEN hanya menyelenggarakan empat rapat dari 22 rapat pleno yang seharusnya diadakan dan hanya mengadakan 28 rapat dari 72 rapat anggota minimum yang seharusnya berlangsung. Operasionalisasi DEN sesuai dengan mandat awal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU) Energi 2007 dan Peraturan Presiden 26/2008 akan memperkuat peran DEN dan meningkatkan implementasi rekomendasinya.

Saat ini, pengembangan energi bersih terkendala oleh banyaknya kementerian yang terlibat dalam kebijakan energi, tanpa adanya koordinasi yang baik. Kementerian tersebut termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Riset dan Teknologi, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) juga bertanggung jawab untuk mengembangkan efisiensi energi dan peraturan energi terbarukan. Koordinasi kebijakan dan peningkatan kejelasan peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih kohesif dan kondusif untuk mempercepat pengembangan energi bersih. Pemerintah pusat harus bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memastikan mereka memiliki keterampilan dan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan transisi energi bersih.

Asumsi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 digunakan dalam model RUEN untuk menetapkan target 23% energi terbarukan tahun 2025. Program percepatan 35 GW yang diumumkan pada tahun 2015 untuk diselesaikan pada tahun 2019 juga menggunakan asumsi tinggi. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi ternyata kurang dari yang diperkirakan dan bahkan pertumbuhan permintaan energi lebih rendah, akibat digitalisasi, pergeseran ke layanan yang kurang intensif energi, dan perubahan perilaku yang seluruhnya telah memperlambat permintaan energi sejak tahun 2015 (MEMR, 2020[1]). Akibatnya, pada tahun 2018 pemerintah mengubah waktu operasi komersial target program percepatan 35 GW menjadi tahun 2024. Baru-baru ini pemerintah mengubah kembali target tersebut menjadi tahun 2028 sebagai refleksi resesi perekonomian global. Perubahan yang berulang ini menunjukkan perlunya memperhitungkan dinamika ekonomi dengan lebih baik dalam perencanaan dan penetapan target energi Indonesia.

Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) disusun dengan mengacu pada RUEN, namun RUPTL menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi jangka pendek yang lebih rendah, sehingga menciptakan inkonsistensi karena proyeksi PLN yang lebih rendah dibandingkan dengan target RUEN. Estimasi permintaan energi yang terlalu tinggi di dalam RUEN dan RUPTL juga menciptakan ketidakpastian tentang waktu penambahan kapasitas pembangkit baru, yang berdampak negatif terhadap potensi pengembalian investasi proyek dan menghambat investasi. Lokasi proyek energi terbarukan yang tercantum dalam RUPTL juga kerap tidak sesuai dengan preferensi lokasi pengembang proyek untuk memenuhi potensi permintaan pasar, sehingga membatasi integrasi potensi listrik energi terbarukan tanpa perluasan jaringan transmisi. Pemerintah telah mengembangkan program Satu Peta Indonesia yang berisi kumpulan informasi spasial dari berbagai kementerian, termasuk potensi energi terbarukan dan infrastruktur ketenagalistrikan yang dapat dilengkapi dengan unsur lain seperti data kependudukan, infrastruktur transportasi dan komunikasi, serta kawasan kehutanan dan pertambangan. Program Satu Peta adalah peluang untuk menyelaraskan model RUEN dan RUPTL untuk meningkatkan prospek dan informasi tentang potensi energi terbarukan, membuat perencanaan energi lebih konsisten dan kuat untuk meningkatkan kepercayaan investor.

Proyek energi bersih memiliki karakteristik seperti lokasi geografis, jenis sumber daya energi dan produksi listrik yang intermiten (naik-turun), yang tidak dipahami oleh banyak lembaga jasa keuangan. Kenyataan ini menciptakan tantangan untuk menilai dan mengelola risiko terkait dengan proyek. Untuk mengatasi tantangan ini, lembaga jasa keuangan memerlukan data yang transparan yang dapat digunakan untuk membandingkan informasi yang diberikan oleh pengembang proyek dalam studi kelayakannya dan yang idealnya dapat dinilai oleh verifikator independen. Pemerintah diharapkan dapat menyediakan data yang saat ini dikelola oleh berbagai instansi pemerintah, seperti data topografi, tingkat curah hujan, status daerah tangkapan air, dan potensi sumber energi terbarukan. Terlepas dari upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melaporkan kebutuhan data lembaga keuangan, masih terdapat data yang belum dapat diakses dengan mudah.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-24 mengadopsi inisiatif pembangunan rendah karbon (low-carbon development initiative/LCDI), yang memungkinkan kegiatan yang lebih berkelanjutan untuk membantu mencapai target perubahan iklim Indonesia. Walaupun RPJMN 2020-24 mengacu pada RUEN dan memiliki aspek yang lebih ketat yang perlu diterapkan oleh semua kementerian dan lembaga pemerintah, tidak terdapat indikasi investasi yang jelas bagaimana tujuan LCDI dapat dicapai. Dengan sumber daya energi terbarukan yang melimpah dan potensi penghematan energi yang signifikan di seluruh perekonomian, serta LCDI yang dapat memandu langkah-langkah pemulihan berkelanjutan (green recovery measures), Indonesia memiliki peluang besar untuk berinvestasi dalam energi bersih sebagai cara untuk mendukung pemulihan ekonomi sekaligus mengurangi emisi. Untuk merealisasikan potensi ini, perlu dilakukan upaya lebih lanjut, mengingat Indonesia baru mencapai 9,15% pangsa energi terbarukan dalam Total Pasokan Energi Primer (TPES) pada tahun 2019, yang jauh tertinggal dari target 23% yang ditetapkan dalam RUEN tahun 2025 (DEN, 2020[2]). Selain itu, terbukanya akses ke pembiayaan murah menjadi hal penting apabila Indonesia ingin mencapai targetnya.

Perubahan dalam perencanaan dan tata kelola energi bersih dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kepercayaan investor dan pengembangan proyek. Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan mendadak seperti pencabutan peraturan tentang perusahaan jasa energi (ESCO) tahun 2016 pada 2018 telah memperumit pembiayaan dan investasi energi bersih, terutama mengingat sifat jangka panjang dari proyek-proyek tersebut. Langkah-langkah berikutnya seperti revisi peraturan pemerintah tentang konservasi energi dan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan yang saat ini sedang disiapkan akan membantu menciptakan kerangka kerja yang lebih koheren untuk efisiensi energi dan tata kelola energi terbarukan karena ini akan mendorong model bisnis ESCO dan skema Feed-in-Tariff (FiT) untuk meningkatkan investasi energi bersih. Tujuan dari langkah-langkah tersebut harus tercermin dalam seluruh perencanaan energi nasional dan implementasi kebijakan untuk mendorong dan memungkinkan pasar memanfaatkan peluang energi bersih dengan memberikan sinyal jangka panjang kepada investor

Kerangka kelembagaan Indonesia untuk kebijakan energi bersih, pembiayaan dan investasi terfragmentasi di antara berbagai instansi, lihat Gambar 2.1). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) merupakan lembaga utama yang bertanggung jawab untuk mengembangkan dan melaksanakan kebijakan energi di Indonesia, termasuk energi terbarukan dan konservasi energi, serta memantau penggunaan energi melalui sistem pelaporan online manajemen energi. Sektor energi bersih berada di Direktorat Jenderal (Dirjen) Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi. KESDM juga bertanggung jawab atas pengaturan sektor ketenagalistrikan melalui Dirjen Ketenagalistrikan. Selain itu, KESDM memiliki sejumlah badan dengan tanggung jawab penting, misalnya, Badan Penelitian dan Pengembangan energi bersih dan inovasi (Badan Litbang); pemetaan sumber daya geologi, vulkanologi dan mitigasi bencana (Badan Geologi); dan pengembangan staf dan sumber daya manusia ESDM secara berkelanjutan dalam bidang energi (melalui Badan Pengembangan SDM) (lihat Bab 7 untuk keterangan lebih terperinci tentang Litbang dan pelatihan dan peningkatan kapasitas).

Selain KESDM, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki tanggung jawab penting atas pembiayaan dan investasi energi bersih. Kemenkeu menyetujui insentif pajak dan harga serta jaminan yang mungkin diberikan untuk mendukung proyek-proyek ketenagalistrikan (lihat Bab 5 untuk pembahasan terperinci tentang skema insentif energi bersih Indonesia). Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Keuangan bertanggung jawab untuk mengkaji dan menyetujui permohonan jaminan. Kemenkeu juga merekomendasikan besarnya subsidi tenaga listrik kepada PLN dalam anggaran nasional dan mengkaji pengaturan pinjaman yang diadakan oleh PLN (termasuk jaminan akhir pemerintah terhadap pinjaman PLN) (PwC, 2017[3]). Sebagai pengawas dan pengatur pasar keuangan, OJK memainkan peran penting dalam mengarusutamakan pembiayaan berkelanjutan dalam negeri melalui sejumlah kebijakan dan langkah-langkah, termasuk dalam bidang energi bersih (lihat Bab 6).

Seluruh kegiatan promosi, fasilitasi dan peraturan investasi dipusatkan pada Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM, yang berperan penting dalam membangun lingkungan yang ramah pelaku usaha di negara ini selama beberapa dekade terakhir, melakukan koordinasi di antara instansi terkait kebijakan dan pelaksanaan investasi (OECD, 2020[4]). Dalam beberapa tahun terakhir, instansi ini berfokus pada penyederhanaan perizinan, fasilitasi proyek-proyek investasi dan peningkatan kondisi untuk menarik investasi (lihat Bab 5). Tugas ini cukup menantang, namun demikian, sejumlah kementerian dan lembaga– termasuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kantor Staf Kepresidenan – terlibat dalam promosi dan fasilitasi energi bersih, belum termasuk pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang memainkan perannya masing-masing.

Instansi-instansi lain juga memiliki tanggung jawab penting atas berbagai masalah terkait dengan pembiayaan dan investasi energi bersih (lihat Tabel 2.1), termasuk:

  • Instansi-instansi koordinasi:

    • Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengoordinasi kementerian lembaga yang bertanggung jawab atas isu-isu energi, transportasi, lingkungan hidup, dan investasi dan memberikan dukungan pelaksanaan kebijakan.

    • Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengoordinasi kementerian lembaga yang bertanggung jawab atas isu-isu keuangan, industri, badan usaha milik negara, riset dan teknologi, dan perencanaan tata ruang serta memberikan dukungan pelaksanaan kebijakan.

    • Dewan Energi Nasional (DEN) adalah instansi koordinasi yang bertanggung jawab untuk mengoordinasi berbagai masalah lintas sektoral terkait energi dan memantau perkembangan pencapaian target energi bersih. DEN menyatukan secara tidak langsung kementerian yang terlibat dalam sektor energi, yaitu Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). DEN dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden. Menteri ESDM bertindak sebagai Ketua Pelaksana/Harian(Executive Chairperson).

    • Kantor Staf Kepresidenan adalah sebuah lembaga ad-hoc yang bertanggung jawab untuk memantau pelaksanaan semua program prioritas Presiden oleh kementerian dan lembaga; seperti (dalam bidang energi bersih) meningkatkan kapasitas terpasang energi terbarukan dalam bauran energi nasional; pelaksanaan standar kinerja energi minimum/SKEM (minimum energy performance standards/MEPS); dan kewajiban pencantuman label pada peralatan elektronik.

    • Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) menetapkan rencana pembangunan nasional jangka menengah dan jangka panjang, mengelola sumber pendanaan pembangunan internasional serta memantau kemajuan terhadap target-target yang ditetapkan dalam Kontribusi Indonesia yang Ditetapkan secara Nasional (National Determined Contribution/NDC) berdasarkan Perjanjian Paris. Bappenas juga bertanggung jawab untuk memfasilitasi kerja sama dalam proyek-proyek infrastruktur antara pemerintah dan para investor swasta.

  • Kementerian terkait dan institusi lainnya:

    • Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertanggung jawab untuk mengatur subsidi listrik, memberikan persetujuan atas jaminan pemerintah untuk kewajiban PLN dalam pinjaman dan perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreements/PPA) serta merumuskan dan menyetujui insentif fiskal untuk energi terbarukan dan proyek-proyek efisiensi energi.

    • Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menetapkan persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk berbagai teknologi energi terbarukan.

    • Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) bertanggung jawab untuk menetapkan kode-kode bangunan hijau dan menetapkan standar bangunan hijau.

    • Kementerian Perdagangan (Kemendag) memantau perdagangan peralatan yang hemat energi.

    • Kementerian Badan Usaha Milik Negara (KemenBUMN) mengawasi kinerja bisnis dan pengelolaan PLN.

    • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertanggung jawab atas pengaturan isu-isu lingkungan hidup yang terkait dengan sektor energi.

    • Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) adalah badan promosi investasi Indonesia, yang terutama bertanggung jawab atas pemberian izin usaha untuk proyek-proyek energi bersih (lihat Bab 4 dan 5).

    • Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertanggung jawab untuk merumuskan peraturan terkait industri keuangan dan kebijakan keuangan berkelanjutan serta memantau dan mengevaluasi pelaksanaannya.

Berdasarkan UU Energi Tahun 2007, DEN memiliki posisi terkuat untuk mengawasi pelaksanaan Kebijakan Energi Nasional atau KEN yang merupakan pedoman bagi negara untuk mencapai beberapa target energi termasuk untuk mencapai 23% pangsa energi terbarukan pada 2025 dalam TPES. DEN merupakan wadah koordinasi tunggal untuk isu-isu energi lintas sektoral dan dipimpin oleh Presiden dengan kegiatan harian diketuai oleh Menteri ESDM. Pemerintah diwakili oleh delapan kementerian (AUP-Anggota Unsur Pemerintah) (lihat Tabel 2.1) dan delapan anggota yang mewakili pemangku kepentingan lainnya (AUPK-Anggota Unsur Pemangku Kepentingan) dipilih oleh DPR.

DEN membahas isu-isu energi dalam rapat-rapat plenonya yang seharusnya diselenggarakan sekurang-kurangnya dua kali setahun dan dipimpin oleh Presiden, serta rapat-rapat anggota yang dipimpin oleh Menteri ESDM setiap dua bulan. Rapat-rapat tersebut diharapkan dapat menetapkan rekomendasi kebijakan yang perlu dilaksanakan oleh kementerian dan para pemangku kepentingan yang selanjutnya dipantau dan dievaluasi oleh DEN. Selain harus melapor kepada DEN tentang perkembangan pelaksanaan rekomendasi kebijakan tersebut, kementerian juga harus melapor kepada instansi koordinasi lain seperti Kemenko Marves, Kemenko Ekonomi, Bappenas, dan Kantor Staf Presiden.

Banyaknya instansi koordinasi ini telah menimbulkan konsekuensi yang tidak diharapkan, bahkan kadang-kadang mengakibatkan tumpang tindih dalam pelaksanaan langkah kebijakan. Misalnya, Kemenko Marves, Kantor Staf Presiden, dan Bappenas semuanya mencantumkan program elektrifikasi daerah pedesaan (seperti pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan di daerah-daerah terpencil dan kepulauan kecil) dalam program kebijakan mereka yang lebih luas, tetapi semuanya dengan tingkat perincian yang berbeda serta tidak konsisten dalam jenis teknologi dan ukuran proyek yang akan dikembangkan berdasarkan program tersebut. Dengan demikian, penetapan mekanisme pelaporan daring (online) tunggal dapat membantu mengatasi isu ini, melalui peningkatan koordinasi lintas program dan fasilitasi pemantauan pelaksanaannya.

Secara keseluruhan, kurangnya instansi koordinasi yang efektif untuk menangani isu-isu terkait energi bersih telah menyulitkan proses koordinasi. Walaupun memiliki peran koordinasi, DEN dianggap kurang efektif dan tidak memiliki kewenangan untuk menjamin persetujuan dan penerapan rekomendasinya oleh kementerian dan lembaga lainnya. Misalnya, DEN menghadapi tantangan yang tidak ringan untuk memperoleh persetujuan dari kementerian dan lembaga yang berbeda tentang program mobil listrik Indonesia terkait berbagai isu di bawah koordinasinya, misalnya persyaratan tingkat kandungan dalam negeri, insentif, aspek keselamatan, dan lingkungan1, sebelum akhirnya program ini disetujui oleh Presiden pada tahun 2019. Sebagai reaksi atas isu ini, baru-baru ini DPR merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengubah peraturan yang berlaku saat ini guna memperkuat peran dan fungsi DEN, meskipun masih tetap harus dilihat bagaimana hal ini nanti akan ditindaklanjuti2

Penetapan strategi jangka panjang untuk mencapai transisi energi bersih diperlukan untuk mengirimkan sinyal yang tepat ke pasar dan membantu mendongkrak investasi. Target energi bersih yang kredibel harus ambisius tetapi juga realistis, dianggarkan dengan baik dan dibatasi oleh waktu. Tujuan yang ambisius harus dibarengi dengan pencapaian yang terukur sehingga dapat membantu investor memahami seberapa cepat pasar energi bersih diperkirakan akan berkembang (OECD, 2015[5]).

Mekanisme perencanaan kebijakan Indonesia tentang pembiayaan dan investasi energi bersih cukup kompleks dan diterjemahkan dalam kerangka waktu yang berbeda. Kementerian ESDM merupakan instansi utama yang bertanggung jawab untuk menentukan strategi energi bersih Indonesia, sementara Bappenas bertanggung jawab untuk mengarusutamakan strategi tersebut ke dalam rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang negara yang menyeluruh - yang menetapkan arah bagi pembangunan negara di semua bidang kebijakan - serta strategi iklim. Memastikan bahwa kebijakan dan rencana yang berbeda tersebut konsisten, koheren, diterjemahkan dengan baik, memiliki tujuan yang jelas, terikat waktu, dan terukur, menjadi sangat penting untuk meningkatkan investasi energi bersih yang dapat memenuhi target pembangunan rendah karbon dan perubahan iklim

Indonesia menetapkan target penurunan emisi karbon jangka panjang sebagai bagian dari Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) berdasarkan Perjanjian Paris 2015 untuk mengatasi perubahan iklim dan berkontribusi dalam upaya mitigasi global. Berdasarkan NDCnya, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% (atau setara dengan sekitar 834 juta ton CO2) dan sampai dengan 38% (atau setara dengan sekitar 1.081 juta ton CO2) dengan bantuan badan internasional pada 2030 dibandingkan dengan data dasar tahun 2010. Selain itu, target tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sangat bergantung pada sektor kehutanan untuk mengurangi emisi sebesar 60%; sementara sektor energi juga memainkan peran yang tidak kalah pentingnya dalam upaya penurunan karbon nasional, dengan menyumbangkan sekitar 38% dari penurunan emisi yang ditargetkan berdasarkan NDC tanpa syarat (lihat Tabel 2.2). Namun demikian, dampak dari pandemi COVID saat ini dapat memengaruhi lintasan dan pencapaian emisi; oleh karenanya, hal ini harus tercermin dalam target-target NDC.

Penurunan emisi di sektor energi akan dicapai melalui pelaksanaan berbagai program sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) 2012 dan Peta Jalan Pelaksanaan NDC untuk Aksi Mitigasi 2019, seperti pembangunan proyek-proyek energi terbarukan dan efisiensi energi. Menariknya lagi, walaupun sektor energi merupakan kontributor besar kedua dalam penurunan emisi setelah sektor kehutanan, pemerintah memperkirakan bahwa sektor energi dan transportasi akan memerlukan investasi sekitar USD 236 miliar atau sekitar 95% dari total kebutuhan USD 247 miliar untuk mencapai NDC Indonesia pada 20303. Selanjutnya, pemerintah harus melakukan evaluasi lebih lanjut untuk mengkalkulasi ulang kebutuhan investasi karena biaya teknologi energi bersih telah mengalami penurunan signifikan selama dekade terakhir

Di sektor energi, UU Energi Tahun 2007 merupakan acuan utama kebijakan dan target energi jangka panjang Indonesia. Undang-undang tersebut secara khusus mengamanatkan penerbitan Kebijakan Energi Nasional/KEN Indonesia pada 2014 untuk memberikan kerangka kebijakan menyeluruh dalam sektor energi. KEN berisi rancangan strategi tingkat tinggi Indonesia untuk mencapai keamanan energi dan kemandirian energi berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan energi seperti aksesibilitas, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, KEN menentukan berbagai target yang cukup tinggi untuk dicapai pada 2025 dan 2050 (lihat Tabel 2.3), termasuk 23% pangsa energi terbarukan dalam Total Pasokan Energi Primer (Total Primary Energy Supply/TPES) pada 2025 serta 1% penurunan intensitas energi tahunan sampai dengan 2025. Walaupun KEN ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 79/2014, kebijakan ini tidak mengikat secara hukum.

Untuk melengkapi komitmen dalam penetapan penggunaan energi yang lebih efisien, Peraturan Pemerintah No. 70/2009, yang mengatur bagaimana negara harus melaksanakan kegiatan konservasi untuk mengurangi konsumsi energinya, misalnya dengan membuat standar dan program pencantuman label. Peraturan ini juga menetapkan kewajiban bagi konsumen energi berskala besar (di atas 6.000 TOE per tahun) untuk melaporkan konsumsi energi dan manajemen pengelolaan energinya. Untuk meningkatkan pelaksanaannya, pemerintah memberikan insentif dan bantuan kepada pemangku kepentingan. Dalam kenyataannya, pelaksanaan peraturan ini dihadapkan pada hambatan, termasuk kelebihan pasokan listrik yang menghalangi kegiatan efisiensi energi karena pemerintah memprioritaskan program-program untuk meningkatkan konsumsi listrik.

Di samping komitmen untuk mencapai tujuan KEN, pemerintah menetapkan Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN pada 2017, yang menjelaskan secara lebih terperinci target-target tahunan, serta program-program yang harus dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga. Secara khusus RUEN merinci target kapasitas pembangkit listrik terpasang dalam KEN 2025 menjadi target tahunan berdasarkan jenis teknologi per tiap provinsi, berdasarkan perkiraan potensi sumber daya energi terbarukan yang ada di masing-masing provinsi tersebut (lihat Bab 1 untuk potensi energi terbarukan Indonesia yang lebih terperinci). RUEN juga berisi sejumlah program dan langkah untuk mencapai target, termasuk: manajemen sumber daya energi terbarukan, desain skema insentif dan tarif, peningkatan kapasitas, dan penelitian dan pengembangan, serta bidang-bidang untuk dapat dilakukan kerja sama internasional. Namun demikian, tidak jelas bagaimana keselarasan program-program tersebut dengan NDC dan RAN-GRK Indonesia. Selain itu, RUEN tidak memberikan estimasi kebutuhan investasi untuk merealisasikan target, apalagi strategi untuk memobilisasi sumber pembiayaan dan investasi dalam negeri dan luar negeri. Dalam hal ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Institute for Energy Economics (IIEE) (2019)4 memperkirakan bahwa untuk mencapai target energi terbarukan RUEN pada 2025 akan memerlukan USD 72,3 miliar (atau USD 44,2 miliar tidak termasuk pembangkit tenaga hidro berskala besar, yaitu di atas 10 MW), jauh lebih rendah dari target yang telah direalisasikan hingga saat ini (lihat Bab 1) (IESR, 2019[6]).

Target RUEN cukup ambisius karena ditetapkan berdasarkan asumsi optimis yang mendasarinya. Ada sejumlah asumsi yang digunakan dalam model RUEN untuk memperkirakan permintaan energi di masa yang akan datang, dimana dua di antaranya memiliki nilai penting: proyeksi pertumbuhan ekonomi yang berkisar antara 4,8% di 2015 sampai dengan 8,0% di 2025 – berasal dari dokumen Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 20115 – dan proyeksi pertumbuhan populasi yang berkisar antara 1,3% di 2015 sampai dengan 0,di % pada 2025. Namun demikian, asumsi pertumbuhan ekonomi yang mendasari target RUEN ternyata ditaksir terlalu tinggi; misalnya, MP3EI memproyeksikan rata-rata pertumbuhan PDB tahunan sebesar 6,54% selama 2015-19, sementara menurut Badan Pusat Statistik pertumbuhan ekonomi aktual rata-rata hanya 5,03% selama periode tersebut(BPS, 2020)6, yang secara mekanis jauh melampaui target (termasuk kapasitas pembangkit listrik terpasang baik untuk bahan bakar energi terbarukan maupun fosil pada 2025)7

Walaupun UU Energi Tahun 2007 mewajibkan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dengan mengacu pada RUEN, hampir separuh dari pemerintah daerah belum melakukan hal itu. Pada tahun 2021, baru 20 provinsi (dari total 34 provinsi) yang telah memberlakukan RUED, sementara itu provinsi-provinsi lain masih mengembangkan perencanaannya8.

Ditemukan pula ketidaksesuaian antara target RUEN tingkat provinsi dan tingkat ambisi aktual provinsi. Misalnya, Provinsi Papua yang kaya akan sumber daya terbarukan (sementara jumlah penduduknya sedikit) belum menyusun RUED, sedangkan Kalimantan Selatan tetap memprioritaskan proyek batu bara dalam RUEDnya, walaupun hal ini tidak sejalan dengan rencana RUEN. Banyak target RUED provinsi yang berbeda dengan target RUEN; misalnya, RUED Sumatera Selatan merencanakan pembangunan proyek panel surya 50 MW pada tahun 2025, sementara RUEN merencanakan pembangunan dengan kapasitas 296 MW pada periode yang sama (berdasarkan potensi dan proyeksi permintaan provinsi). Terlepas dari tantangan ini, beberapa provinsi menunjukkan ambisi besar dalam RUEDnya, contohnya provinsi Bali, yang berkomitmen menggunakan 100% listrik energi terbarukan pada tahun 2050.

Sebagian besar kesulitan yang dihadapi pemerintah daerah dalam mengembangkan RUED yang kuat, disebabkan oleh kurangnya kapasitas serta pemahaman yang terbatas tentang energi bersih. Banyak pemerintah daerah, mengalami kekurangan dana dan sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan pemodelan dan penelitian yang diperlukan dalam pengembangan RUED. Pemerintah daerah juga tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif listrik energi terbarukan yang cukup menarik seperti karena ini ditetapkan di tingkat nasional. Selain itu, ada proses birokrasi yang sangat panjang untuk mendapatkan persetujuan akhir RUED dari DPRD.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bertanggung jawab untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang menetapkan arah pembangunan Indonesia dalam jangka waktu lima tahun (sesuai dengan mandat presiden) melalui berbagai tujuan dan target multi sektoral. RPJMN dirancang melalui serangkaian konsultasi bottom-up dan top-down, dan dengan mengalokasikan anggaran negara ke berbagai kementerian dan lembaga. Kementerian, lembaga dan pemerintah daerah kemudian menggunakan RPJMN sebagai acuan untuk mengembangkan dan melaksanakan rencana dan kebijakannya sendiri, misalnya dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah tahunan dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

RPJMN 2020-24 yang baru-baru ini diadopsi telah menempatkan inisiatif pembangunan rendah karbon (low-carbon development initiative/LCDI) dan ekonomi hijau (green economy) sebagai landasan strategi pembangunannya. Langkah terkait energi bersih ini mendapat sambutan baik karena rencana tersebut mengakui pentingnya energi terbarukan dan efisiensi energi dalam pembangunan ekonomi Indonesia dan menegaskan kembali komitmen pemerintah untuk mencapai target RUEN dan NDC. RPJMN membuka peluang besar untuk menunjukkan bahwa energi bersih dan ekonomi berkelanjutan dapat membantu mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama dalam upaya pemulihan dari dampak krisis COVID-19.

Undang-Undang Ketenagalistrikan No. 30/2009 adalah dasar hukum utama bagi pasar ketenagalistrikan Indonesia. Undang-undang tersebut memberikan peran dan tanggung jawab kepada lembaga pemerintah dan pemain pasar lainnya serta menentukan perizinan terkait ketenagalistrikan, pengaturan tarif dan proses perencanaan (lihat bagian berikutnya untuk perencanaan ketenagalistrikan yang lebih terperinci). Undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan tetap memiliki posisi dominan di semua segmen pasar ketenagalistrikan, membuat pasar ini sebenarnya menjadi monopoli (terintegrasi secara vertikal) (lihat Gambar 2.2).

Pernah ada upaya untuk memecah usaha PLN dan meliberalisasi pasar ketenagalistrikan Indonesia melalui pemberlakuan UU Ketenagalistrikan No. 20/2002. Tetapi, undang-undang tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa penyediaan listrik harus tetap menjadi tanggung jawab negara. Lebih lanjut, pemerintah mengeluarkan sejumlah keputusan pemerintah (dan hampir 40 peraturan pelaksana yang dirangkum dalam Tabel 2.4) untuk menjamin persaingan sehat dan berfungsinya pasar dengan baik, walaupun praktik pelaksanaannya terbukti tidak mudah (lihat Bab 4). Terlepas dari peran dominan PLN dalam pembangkitan listrik (yang memiliki dua pertiga aset pembangkitan), dalam lima tahun terakhir ini pemerintah telah mendorong partisipasi yang semakin besar dari Produsen Listrik Independen (Independent Power Producer/IPP) dan pemegang izin wilayah usaha ketenagalistrikan (wilus) di pasar, dengan mengikuti tender untuk menutupi keterbatasan sumber daya PLN dalam membangun infrastruktur pembangkitan dan transmisi. Hasilnya, kontribusi IPP dalam pembangkitan listrik meningkat dari semula 21% dari total kapasitas terpasang pada tahun 2015 menjadi 26% pada tahun 2019 (MEMR, 2020[7]).

Selain itu, untuk memastikan bahwa pasar ketenagalistrikan diselenggarakan dan dikelola secara lebih transparan dan sehat, muncul beberapa usulan untuk membentuk badan pengatur energi terbarukan yang mandiri yang juga diharapkan dapat mempercepat pemanfaatan energi bersih. Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengajukan gagasan ini kepada DPR yang saat ini sedang merumuskan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan9. Sementara itu, berdasarkan studi terkini, Asian Development Bank (ADB) menegaskan bahwa badan regulator dapat dibentuk melalui penetapan peraturan pemerintah atau peraturan presiden seperti yang dilakukan dalam pembentukan SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) BPTJ (Badan Pengatur Tol Jalan Indonesia)10. Jika Indonesia bermaksud mempertimbangkan dan menilai saran yang diberikan ini, beberapa pembelajaran dapat dipetik dari negara lain, seperti SEDA (Sustainable Energy Development Authority) di Malaysia, ERC (Energy Regulatory Commission) di Filipina, EMRA (Electricity Market Regulatory Authority) di Turki atau ANRE (National Electricity Regulatory Authority) di Maroko.

Berbeda dengan segmen pembangkitan, PLN menjadi satu-satunya pengembang infrastruktur transmisi dan distribusi listrik di Indonesia. Meskipun regulasi mengizinkan pengembang swasta untuk membangun jalur transmisi dan distribusi listrik, namun terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, seperti persyaratan untuk memperoleh izin wilayah usaha ketenagalistrikan, penyusunan studi kelayakan, dana yang memadai dan persetujuan terkait power wheeling dari Menteri ESDM, yang proses dan praktiknya terdapat hambatan bagi pengembang untuk berinvestasi di bisnis hilir ketenagalistrikan. Hingga akhir tahun 2019, sebanyak 52 Pembangkit Listrik Swasta (private power utilities/PPU) telah memperoleh izin wilayah usaha kelistrikan sehingga dapat langsung mengalirkan listrik kepada pelanggannya.

Seiring dengan rencana pembangkitan, PLN menyampaikan komitmennya kepada pemerintah untuk membangun jalur transmisi dan distribusi listrik sebagaimana tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Hal ini sangat penting karena dapat membantu PLN menjangkau lebih banyak konsumen sehingga menurunkan kapasitas kelebihan pasokan listriknya di beberapa daerah di tanah air. Oleh sebab itu, pemerintah meminta PLN untuk menanamkan investasi lebih besar di jalur transmisi dan distribusi11. Walaupun terdapat beberapa penundaan dalam pembangunannya, namun hingga Desember 2020, PLN telah berhasil membangun sekitar 61.960 kilometer sirkuit (kms) jalur transmisi yang tersebar di 28 sistem ketenagalistrikan, serta dua pusat penyaluran besar, yaitu Jawa-Bali Dispatch Center dan Sumatera Dispatch Center (pusat penyaluran lain berada di setiap unit distribusi PLN). PLN juga telah membangun jalur distribusi sepanjang 1.005.080 kms, yang membantu meningkatkan rasio elektrifikasi nasional hingga 99,20% (lihat Gambar 2.3; lihat Bab 1).

Perencanaan ketenagalistrikan disusun dalam sejumlah dokumen perencanaan (lihat Gambar 2.4):

  • Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional atau RUKN merupakan tulang punggung perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia. Dengan mengacu pada KEN, rencana tersebut memuat prakiraan pasokan dan permintaan tenaga listrik serta rencana investasi dan pemanfaatan sumber energi terbarukan selama 20 tahun berikutnya. Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM bertugas mengembangkan dan memutakhirkan secara berkala RUKN yang saat ini berlaku dari tahun 2019-2038.

  • Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) disusun oleh pemerintah daerah dengan mengacu pada RUKN sebagai pedoman bagaimana infrastruktur ketenagalistrikan akan dikembangkan sesuai dengan kondisi daerah. Walaupun hal ini diamanatkan oleh UU Ketenagalistrikan, hingga akhir tahun 2020, tidak satu pun provinsi yang telah membuat RUKD berdasarkan RUKN 2019. Akan tetapi, beberapa provinsi membuat RUKD dengan mengacu pada RUKN 2008, yaitu Kalimantan Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.

  • Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) adalah rencana pengembangan ketenagalistrikan berjangka sepuluh tahun yang dikembangkan oleh PLN secara berkala, dengan mengacu pada RUKN, KEN dan RUEN. RUPTL merupakan dokumen penting untuk semua investor di sektor ketenagalistrikan Indonesia karena berisi perkiraan permintaan terperinci dan terbaru, rencana ekspansi di masa yang akan datang, perkiraan produksi listrik dan kebutuhan bahan bakar, dan lain-lain. Dokumen ini juga mengalokasikan pengembangan proyek kepada PLN dan IPP, serta menentukan mekanisme pengadaan untuk IPP dalam membangun pembangkit listrik. Semua proyek harus dicantumkan dalam daftar RUPTL sebelum dilakukan pengadaan.

Sebagai implementasi dari perencanaan tersebut di atas, pada tahun 2015 Presiden Joko Widodo meluncurkan program 35 GW untuk mempercepat pencapaian rasio elektrifikasi 100% dan pencapaian target RUEN. Beberapa pembangkit yang ada dalam program 35 GW adalah bagian dari proyek FTP-2 yang tidak terlaksana setelah tahun 2015 akibat perubahan proyeksi permintaan. Lebih lanjut, program 35 GW diintegrasikan ke dalam RUPTL. Akan tetapi, program ini menghadapi tantangan serupa sebagaimana yang terjadi dalam Program Percepatan Ketenagalistrikan sebelumnya sehingga menyebabkan penundaan pelaksanaan proyek (lihat Kotak 2.2).

Ketiga dokumen perencanaan energi dan ketenagalistrikan utama (RUEN, RUKN, dan RUPTL) menggunakan model dan asumsi berbeda dalam menentukan kebutuhan kapasitas pembangkitan terpasang sehingga menyebabkan ketidaksesuaian yang signifikan dalam ketiga dokumen tersebut (lihat Tabel 2.6). Pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi yang lambat juga telah menyebabkan tertundanya pembangunan kapasitas pembangkit listrik yang direncanakan berdasarkan RUPTL, yang selanjutnya dapat memperlebar kesenjangan antara kapasitas yang direncanakan dan kapasitas yang terpasang aktual. Berbagai inkonsistensi ini pada gilirannya menciptakan ketidakpastian di antara investor dan akhirnya berdampak terhadap iklim investasi energi bersih. Instansi pemerintah harus melakukan koordinasi lebih baik untuk menyelaraskan rencana, target dan asumsi proyeksi yang digunakan.

Sebagaimana disebutkan di atas, PLN bertanggung jawab menyampaikan rencananya termasuk informasi tentang keterlibatan IPP untuk memperoleh persetujuan dari pemerintah sebelum mereka memulai pembangunan pembangkit listrik. Namun demikian, terdapat kekhawatiran terkait transparansi dan kewajaran proses alokasi karena menggunakan proses bottom-up berdasarkan masukan dari kantor wilayah PLN yang terkadang mengabaikan masukan dari calon pengembang proyek yang didukung dengan prastudi kelayakan yang tepat sebagai persyaratan untuk dipertimbangkan dalam penyusunan RUPTL.

Sesuai dengan UU Ketenagalistrikan No. 30/2009 dan Peraturan Presiden No. 4/2016 – yang kemudian direvisi dengan Peraturan Presiden No. 14/2017 – PLN akan memperoleh prioritas untuk mengembangkan infrastruktur ketenagalistrikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  • PLN memiliki ekuitas yang memadai atau dapat mengakses pendanaan murah.

  • Proyek memiliki risiko konstruksi rendah.

  • Proyek memiliki pasokan bahan bakar yang aman.

  • Proyek merupakan pembangkit listrik tipe peaker.

  • Proyek merupakan sistem terisolasi.

Selain itu, PLN harus bekerja sama dengan, atau mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta (IPP dan PPU (Private Power Utility/Pembangkit Listrik Swasta)/Pemegang IO (Izin Operasi) untuk mengembangkan infrastruktur ketenagalistrikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Proyek memerlukan investasi berskala besar.

  • Proyek memiliki risiko konstruksi tinggi, khususnya jika proyek memerlukan pembukaan lahan.

  • Proyek berisiko tinggi karena tidak ada jaminan pasokan bahan bakar.

  • Proyek merupakan proyek energi terbarukan.

  • Proyek mencakup perluasan dari IPP yang ada.

  • IPP/PPU membangun proyeknya di wilayah tertentu.

Walaupun terdapat persyaratan tersebut, pada praktiknya, PLN dapat secara sepihak mengalokasikan pembangunan proyek, dengan beberapa proyek dikategorikan sebagai “tidak dialokasikan” – yang berarti bahwa proyek-proyek tersebut dapat dikerjakan baik oleh PLN maupun IPP. Namun demikian, terdapat inkonsistensi dalam hal proyek-proyek yang direncanakan di seluruh RUPTL (misalnya, proyek-proyek yang diubah, atau dihapuskan, dari satu versi RUPTL ke versi RUPTL berikutnya).

Untuk mengatasi permasalahan koordinasi kelembagaan terkait rencana tata ruang, pemerintah menetapkan Kebijakan Satu Peta melalui Peraturan Presiden No. 9/2016. Kebijakan Satu Peta tersebut adalah tempat penyimpanan data digital (repositori) tunggal atau yang disebut Satu Peta Geoportal – yang diluncurkan pada 2018 – untuk mengarsipkan dan memusatkan berbagai rencana infrastruktur dan tata ruang sektoral lainnya (yang dibentuk dan dikelola oleh kementerian dan lembaga berbeda) dan dengan demikian, membantu memecahkan permasalahan berkepanjangan terkait tumpang tindih rencana tata ruang dan hak atas tanah di Indonesia (lihat (OECD, 2019[8]) untuk keterangan lebih terperinci tentang isu-isu rencana tata ruang di Indonesia). Sebagai pelengkap Kebijakan Satu Peta, pemerintah menetapkan Peraturan Presiden No. 39/2019 tentang Satu Data Indonesia yang mengharuskan para pemegang data (kementerian dan lembaga pemerintah lainnya) memberikan data dinamis berdasarkan format dan definisi sesuai pedoman peraturan ini.

Repositori ini akan memungkinkan banyak pengguna melakukan overlay rencana infrastruktur dan sektoral yang ada. Dalam sektor energi, Satu Peta Geoportal (disebut juga Satu Peta Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM) terutama mencakup data tentang potensi sumber daya energi terbarukan, wilayah pertambangan, jalur transmisi dan lokasi pembangkit listrik. Selain itu, Kementerian ESDM sedang mempersiapkan publikasi Satu Data ESDM yang akan terdiri atas data dinamis termasuk produksi listrik harian, tarif listrik dan energi, nilai ekspor dan impor energi, dll. Dengan demikian Satu Peta dan Satu Data ESDM membuka peluang besar kepada Indonesia untuk semakin mengintegrasikan model-model energi dengan mengintegrasikannya secara lebih baik dan memverifikasi kebutuhan dengan potensi sumber daya terbarukan aktual, infrastruktur transmisi serta permintaan energi.

Ini akan menjadi langkah penting bagi Indonesia jika perencanaan sistem ketenagalistrikan PLN dapat diintegrasikan dengan Satu Peta ESDM dan Satu Data ESDM agar lebih transparan dan dapat diandalkan, sehingga akan membantu keputusan investasi yang lebih baik oleh para pemangku kepentingan. Saat ini, perencanaan ketenagalistrikan kurang memiliki keterkaitan antara sumber daya energi potensial dan permintaan pasar terhadap rencana pembangunan jalur pembangkit, transmisi dan distribusi listrik. Salah satu contoh adalah sistem ketenagalistrikan Mahakam (Kalimantan Timur) dimana pasokan yang tersedia sekitar 200 MW tidak dapat memenuhi permintaan pasar baru karena pembangunan jalur transmisi dan distribusi listrik mengalami ketertinggalan. Contoh lain dapat juga dilihat di wilayah Papua, dimana terdapat potensi hidro yang besar, yaitu sekitar 1.000 MW, tetapi tidak ada permintaan atau rencana untuk membangun jalur transmisi dan distribusi listrik.

Dengan tersedianya dataset tentang Satu Peta ESDM dan Satu Data ESDM, pemerintah dan PLN dapat menggunakannya untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan perencanaan ketenagalistrikan dan perkembangan proyek tersebut. Hal ini dilakukan, misalnya ketika pemerintah dan PLN menilai proposal harga dari para pengembang proyek panas bumi. Beberapa komponen harga mencakup ketersediaan infrastruktur pendukung yang dekat dengan lokasi proyek dan potensi sumber daya di kawasan yang tidak memiliki infrastruktur pendukung atau apabila sumber dayanya berpotensi rendah maka hal ini dapat menyebabkan permintaan harga yang lebih tinggi dari pengembang. Pemerintah dan PLN mengevaluasi permintaan ini dengan menggunakan data potensi sumber daya ketersediaan infrastruktur yang tersedia dalam Satu Peta ESDM dan Satu Data ESDM. Hal ini memungkinkan disepakatinya harga panas bumi bumi sehingga mencerminkan kondisi riil proyek tersebut secara wajar.

Merujuk pada situasi yang disebutkan di atas Indonesia dapat menarik manfaat dari pengalaman Australia dalam mengembangkan Australia Renewable Energy Mapping Infrastructure (AREMI) (lihat Kotak 2.3). Sama halnya dengan Satu Peta, AREMI melakukan sentralisasi terhadap kumpulan data dan rencana terkait energi yang komprehensif, seperti kinerja pembangkit listrik waktu nyata (real-time), potensi permintaan pasar, kesenjangan infrastruktur jaringan dan potensi sumber daya energi terbarukan. Dengan mengintegrasikan berbagai data energi, peta AREMI sangat membantu investor untuk mengidentifikasi peluang investasi energi bersih dan dengan demikian membantu menghindari risiko aset yang terlantar.

Perkembangan teknologi terbarukan yang cepat berubah dan penurunan biaya secara global akan sangat memengaruhi perencanaan pembangkitan energi terbarukan di Indonesia. Di seluruh dunia, biaya teknologi energi terbarukan telah mengalami penurunan tajam selama dekade terakhir, misalnya biaya panel surya turun sebesar 82% antara 2010 dan 2019 yang pada akhirnya mendorong kenaikan signifikan terhadap porsi energi terbarukan dalam pembangkitan listrik (IRENA, 2020). Akan tetapi, sektor ketenagalistrikan Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara (63%) dengan energi terbarukan hanya berperan kecil saja (11,5%) (lihat Bab 1 untuk keterangan lebih terperinci tentang bahan bakar sistem ketenagalistrikan di Indonesia). Beberapa pembangkit listrik bertenaga batu bara telah beroperasi selama lebih dari 30 tahun, yang baru-baru ini membuat pemerintah merencanakan penggantian bertahap sekitar 1,6 GW pembangkit listrik bertenaga batu bara dengan panel surya (Jakarta Post, 2020)12.

Sebagaimana halnya negara-negara lain, Indonesia mengalami perubahan perilaku dalam konsumsi energi yang dipicu oleh digitalisasi. Perubahan ini didukung oleh besarnya pangsa kelompok milenial dan generasi Z (usia 8-39 tahun), sekitar 53,81% dari total populasi sebesar 270,2 juta orang (BPS, 2021)13, sementara angka penetrasi Internet di Indonesia mencapai 73% sebagaimana dilaporkan dalam Digital 2021 Indonesia oleh We Are Social and Hootsuite14. Kaum milenial lebih akrab dengan kegiatan ekonomi berbasis Internet (digitalisasi) dan mereka juga lebih memilih untuk menggunakan teknologi energi yang lebih efisien, seperti jasa urun tumpangan (ride-sharing) (yaitu, GoJek dan Grab), dan tinggal di dekat perkotaan. Lebih lanjut, IEA dalam laporan studinya tentang Digitalization and Energy (2017) menyatakan bagaimana digitalisasi mengubah lanskap sektor energi dan ini kemudian dapat mendorong Indonesia merombak proyeksi permintaan dan penawaran energinya.

Referensi

[10] Bridle, R. et al. (2018), Missing the 23 Per Cent Target: Roadblocks to the development of renewable energy in Indonesia GSI REPORT, http://www.iisd.org/gsi (accessed on 15 January 2019).

[13] DEN (2020), Buku Bauran Energi Nasional, Dewan Energi Nasional, https://den.go.id/index.php/publikasi/index/BauranEnergi.

[2] DEN (2020), Buku Bauran Energi Nasional 2020 (National Energy Mix Book 2019), Dewan Energi Nasional, Jakarta, https://den.go.id/index.php/publikasi/index/BauranEnergi (accessed on 19 April 2021).

[6] IESR (2019), Kebutuhan Investasi Energi di Indonesia (English translation: Energy investment needs in Indonesia), http://iesr.or.id/pustaka/kebutuhan-investasi-energi-indonesia/ (accessed on 3 April 2020).

[12] Kennedy, S. (2020), Research: land use challenges for Indonesia’s transition to renewable energy, The Conversation, https://theconversation.com/research-land-use-challenges-for-indonesias-transition-to-renewable-energy-131767 (accessed on 6 November 2020).

[1] MEMR (2020), Handbook of Energy & Economy Statistics of Indonesia 2019, Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta.

[7] MEMR (2020), Statistik Ketenagalistrikan 2019 (Electricity Statistics 2019), Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta, https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/c4053-statistik-2019-highres.pdf (accessed on 19 April 2021).

[4] OECD (2020), OECD Investment Policy Reviews: Indonesia 2020, OECD Investment Policy Reviews, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/b56512da-en.

[8] OECD (2019), OECD Green Growth Policy Review of Indonesia 2019, OECD Environmental Performance Reviews, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/1eee39bc-en.

[11] OECD (2015), Overcoming Barriers to International Investment in Clean Energy, Green Finance and Investment, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/9789264227064-en.

[5] OECD (2015), Policy Guidance for Investment in Clean Energy Infrastructure: Expanding Access to Clean Energy for Green Growth and Development, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/9789264212664-en.

[9] PWC (2019), As many as 21 PPAs for new and renewable energy power plants planned to be signed this year, https://www.pwc.com/id/en/media-centre/infrastructure-news/april-2019/planned-to-be-signed-this-year.html (accessed on 9 November 2020).

[3] PwC (2017), Power in Indonesia - Investment and Taxation Guide, http://www.pwc.com/id (accessed on 11 January 2019).

Catatan

← 1. https://www.thejakartapost.com/news/2019/07/29/division-among-ministers-may-delay-issuance-of-ev-regulation.html.

← 2. http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/25269/t/Peran+DEN+Belum+Optimal.

← 3. Dian Lestari, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, “Fasilitas Keuangan Berkelanjutan untuk Mendukung Proyek Energi Bersih di Indonesia”, Diskusi Kelompok Terarah Daring, Membangun Fasilitas Keuangan Berkelanjutan, Oktober 2020.

← 4. https://iesr.or.id/en/pustaka/kebutuhan-investasi-energi-indonesia.

← 5. MP3EI adalah dokumen perencanaan pembangunan yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dokumen ini berisi berbagai program pembangunan pemerintah di enam koridor ekonomi – berbasis pulau-pulau besar, misalnya Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua-Maluku, dan Bali-Nusa Tenggara – untuk mempercepat pembangunan di seluruh negara guna mencapai status negara maju pada tahun 2025 melalui beberapa indikator, misalnya, pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, dan nilai PDB. Sumber: https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/kegiatan-utama/master-plan-percepatan-dan-perluasan-pembangunan-ekonomi-indonesia-mp3ei-2011-2025/.

← 6. https://www.bps.go.id/indicator/11/104/1/-ser, i-2010-laju-pertumbuhan-pdb-seri-2010.html.

← 7. Peraturan Presiden No. 22/2017 tentang Kebijakan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

← 8. https://den.go.id/index.php/publikasi/index/pembinaanrued.

← 9. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200917152103-4-187563/ruu-ebt-ada-usul-badan-pengelola-energi-terbarukan-dibentuk.

← 10. https://www.adb.org/sites/default/files/publication/668226/better-regulation-future-indonesia-electricity-sector.pdf.

← 11. https://www.reuters.com/article/indonesia-electricity-idAFL4N2AY2AO.

← 12. https://www.thejakartapost.com/news/2020/11/30/ministry-mulls-retiring-giant-suralaya-coal-plant-replacing-it-with-solar-farm.html.

← 13. https://www.bps.go.id/website/materi_ind/materiBrsInd-20210121151046.pdf

← 14. https://datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia

Metadata, Hukum dan Hak

Dokumen ini, serta data dan peta apa pun yang disertakan di sini, tidak mengurangi status atau kedaulatan atas wilayah mana pun, terhadap penetapan batas dan batas internasional, dan terhadap nama wilayah, kota, atau wilayah mana pun. Informasi yang diambil dari publikasi dapat dikenakan penafian tambahan, yang ditetapkan dalam versi lengkap publikasi, yang tersedia di tautan yang disediakan.

© OECD 2021

Penggunaan karya ini, baik digital atau cetak, diatur oleh Syarat dan Ketentuan yang dapat ditemukan di http://www.oecd.org/termsandconditions.