3. Kerangka regulasi

Lingkungan kebijakan energi Indonesia mengalami perubahan signifikan sejak tahun 2007, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Energi No. 30/20071 yang merupakan landasan hukum dan struktur kelembagaan dalam pengelolaan energi. Sejak saat itu, pemerintah membuat sejumlah perubahan regulasi untuk mendorong dan mempromosikan efisiensi energi dan pengembangan energi terbarukan, sejalan dengan visi yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui Peraturan Pemerintah No. 79/20142, dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 22/20173 (lihat Bab 2).

Kebijakan ini yang disertai dengan sejumlah kebijakan lainnya dan peraturan efisiensi energi dan energi terbarukan merupakan langkah ke arah yang tepat, yang menegaskan tekad Indonesia untuk mengubah ambisinya terkait energi bersih menjadi komitmen hukum dengan menerapkan aturan dan regulasi pasar. Penguatan reformasi melalui fasilitasi pengembangan usaha yang diatur dalam UU Cipta Kerja (lihat Bab 4) akan membantu memastikan bahwa kerangka regulasi Indonesia dapat mengatasi kesenjangan kebijakan dan hambatan pasar lainnya sehingga dapat menciptakan lingkungan investasi yang dinamis dan kuat untuk pengembangan energi bersih.

Pemerintah Indonesia patut menerima pujian karena menyatakan pentingnya energi bersih untuk masa depan negara. Evolusi regulasi untuk mendukung efisiensi energi dan energi terbarukan selama sepuluh tahun terakhir merupakan langkah positif untuk mencapai ambisi tersebut dan perkembangan seperti standar kinerja energi minimum (SKEM) nasional pertama serta penyusunan peraturan presiden tentang energi terbarukan merupakan tahapan pencapaian penting yang menunjukkan komitmen Indonesia untuk mempercepat penerapan energi bersih. Namun demikian, Indonesia telah beberapa kali merevisi aturan dan regulasi tentang energi terbarukan dan efisiensi energi, yang beberapa diantaranya menimbulkan ketidakpastian bagi pengembang proyek dan investor. Agar solusi energi bersih dapat dimanfaatkan secara luas, lingkungan regulasi Indonesia harus berevolusi (serta dikoordinasikan [lihat Bab 2]) dan kelemahan dalam kebijakan yang ada harus dikelola.

Selama beberapa tahun terakhir, regulasi berhasil menciptakan permintaan akan produk dan layanan hemat energi, tetapi masih terdapat kesenjangan kebijakan, termasuk rendahnya kesadaran masyarakat tentang standar kinerja energi minimum/SKEM (minimum energy performance standards/MEPS) dan label energi (CLASP, 2020[1]; MEMR, 2020[2]). SKEM pendingin ruangan (AC) dan penerangan tidak dimutakhirkan secara berkala untuk menjamin kesesuaiannya dengan tren pasar dan ketersediaan produk. Penyesuaian SKEM untuk sepuluh kategori peralatan baru menunjukkan hasil menggembirakan, tetapi diperlukan upaya lebih lanjut untuk memperluas dan memperkuat keseluruhan regulasi yang mengatur efisiensi energi. Indonesia dapat memanfaatkan pengetahuan internasional, seperti wahana kolaborasi International Energy Agency tentang Peralatan Listrik Hemat Energi4, dan bekerja sama dengan mitra seperti inisiatif United for Efficiency5 dan ASEAN SHINE6 untuk memperkuat dan memperluas ruang lingkup kebijakan efisiensi energinya.

Kemajuan pengembangan dan penerapan regulasi efisiensi energi baru merupakan hal penting. Demikian pula dengan peningkatan jumlah produk di pasar yang diuji secara resmi, walaupun data yang diperoleh, untuk peralatan AC misalnya, menunjukkan bahwa kebijakan tidak selalu mengikuti perkembangan pasar, dengan SKEM yang lebih rendah dari tingkat efisiensi yang tersedia. Untuk mengatasi kesenjangan ini, pemantauan harus diperkuat dan regulasi harus dievaluasi, tidak hanya untuk memastikan kepatuhan, melainkan juga untuk meningkatkan data ketersediaan produk dan preferensi pasar (misalnya, tren dalam ukuran dan fitur peralatan, yang memengaruhi konsumsi energi). Indonesia dapat belajar dari pengalaman internasional dan praktik terbaik tentang pemantauan, verifikasi, dan penegakan kebijakan efisiensi energi, seperti kebijakan International Energy Agency tentang peningkatan kepatuhan terhadap program efisiensi energi peralatan (IEA, 2010[3]), untuk meningkatkan kapasitas regulasinya dan memastikan kepatuhan dalam pengujian produk dan pelaporan industri.

Pencabutan Peraturan Menteri ESDM Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha JJasa Konservasi Energi menyebabkan pasar kehilangan dokumen standar untuk kontrak kinerja energi, sehingga membatasi pasar untuk sebagian besar perusahaan teknik berskala kecil yang beroperasi secara bisnis-ke-bisnis. Untuk memanfaatkan potensi model layanan energi yang besar, yang telah berhasil diterapkan di negara lain, diperlukan regulasi yang jelas, termasuk dokumentasi standar, untuk memenuhi syarat pembayaran kembali (misalnya, biaya minimum untuk perusahaan jasa energi [ESCO] jika penghematan energi tidak sesuai sebagaimana yang diharapkan), keamanan pembayaran dan persyaratan kontrak di antara para pihak. Pemerintah juga dapat mendukung pengembangan pasar jasa energi, misalnya dengan memberikan dukungan teknis dan mendukung proyek percontohan untuk membantu pasar mengenali penghematan energi yang menghasilkan pendapatan, yang merupakan faktor penting dalam penerapan dan pembentukan pasar ESCO yang bankable di negara lain.

Akhir-akhir ini, kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan, terlepas dari hambatan untuk meningkatkan pembangunannya, termasuk dalam hal ini adalah praktik di pasar ketenagalistrikan yang mungkin tidak bisa dinegosiasikan secara transparan dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBTL). Penerapan pengadaan yang kurang jelas dan tidak konsisten menimbulkan kesan kondisi investasi yang tidak adil dan/atau berisiko serta mengurangi kompetisi di pasar yang sangat penting untuk mengembangkan pasar ketenagalistrikan yang efisien. Di negara lain, syarat dan ketentuan tender yang terkait dengan penetapan harga PJBTL biasanya diumumkan, sekurang-kurangnya kepada peserta tender yang telah memenuhi syarat, untuk mendorong kompetisi yang berfokus pada harga, pengalaman, dan stabilitas keuangan pengembang. Indonesia harus berupaya mengatasi hambatan regulasi yang mengatur jual beli tenaga listrik antara produsen listrik independen (IPP) dan PLN untuk menciptakan kondisi pasar yang jelas dan kredibel.

Langkah-langkah baru seperti pemberlakuan UU Cipta Kerja (lihat Bab 4) dan peraturan presiden yang saat ini sedang disusun diharapkan dapat memberikan kerangka kebijakan yang lebih jelas dan lingkungan usaha listrik energi terbarukan yang lebih baik. Perumusan peraturan presiden, alih-alih peraturan menteri, memberi sinyal yang kuat tentang keseriusan sikap pemerintah dalam hal transisi energi bersih. Untuk menjamin agar langkah-langkah tersebut memberikan dampak yang diharapkan, diperlukan lingkungan regulasi yang jelas, konsisten dan adil, suatu kondisi penting untuk memperluas keterlibatan sektor swasta. Secara khusus, persepsi risiko dan risiko nyata bagi pengembang proyek terbarukan harus dikelola, untuk menghindari kondisi operasional yang tidak jelas atau perubahan aturan secara mendadak yang dapat menghambat investasi, dengan tetap menciptakan lingkungan regulasi yang mendorong kompetisi dan membuka peluang untuk mencapai penurunan biaya.

Perubahan regulasi terkait IPP dan tarif listrik dalam beberapa tahun terakhir tidak serta merta memfasilitasi pengembangan listrik energi terbarukan. Besarnya potensi pasar yang belum tergali, misalnya melalui pengadaan energi terbarukan oleh korporasi masih terkendala oleh sejumlah hambatan, seperti tidak adanya peraturan pelaksana tentang power-wheeling dan kebijakan net-metering yang tidak sejalan dengan praktik yang baik di negara lain. Isu ini menyebabkan investasi dalam pembangkitan untuk keperluan sendiri menjadi tidak ekonomis atau pengadaan off-site generation menjadi sulit, sehingga menghambat pengembangan pasar listrik energi terbarukan yang dinamis. Untuk memanfaatkan potensi signifikan pengadaan energi terbarukan di Indonesia, pemerintah perlu mengkaji regulasi dan praktik penetapan harga yang berlaku saat ini, memastikan penyelesaian pembangkitan untuk keperluan sendiri (self-generation) secara transparan dan adil dan memfasilitasi perjanjian kontrak antara perusahaan, PLN dan IPP.

Indonesia telah memprakarsai beberapa program dan kebijakan tentang konservasi dan efisiensi energi selama satu dekade terakhir, sejak dibuatnya Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN) pada tahun 1995. Beberapa langkah penting dalam inisiatif ini termasuk penerapan regulasi terkait dengan manajemen energi dan standar kinerja energi, seperti Peraturan Menteri Perindustrian (Kemenperin) No. 51/20157 tentang standar energi minimum wajib bagi pengguna industri berat (bubur kertas dan kertas, tekstil, semen dan keramik). Pemerintah juga telah memprakarsai program peningkatan kesadaran untuk meningkatkan pelaksanaan efisiensi energi serta program peningkatan kapasitas sumber daya manusia (lihat Bab 7).

Langkah-langkah ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk mengurangi intensitas energi nasional secara keseluruhan, meskipun pemberian insentif masih kurang memadai atau pedoman pelaksanaan kebijakan efisiensi energi masih kurang jelas. Target peningkatan intensitas energi tahunan RUEN sebesar minimum 1% (dengan total penghematan energi sebesar 17% pada tahun 2025) terlihat menjanjikan, tetapi target ini kemungkinan tidak akan tercapai. Sama halnya dengan peningkatan intensitas sebesar 1% yang dianggap kurang ambisius dibandingkan dengan seruan Energy Efficiency Global Alliance untuk meningkatkan efisiensi tahunan global sebesar tiga persen8. Untuk memenuhi angka peningkatan yang direkomendasikan tersebut, target intensitas energi Indonesia harus berada di angka 2% atau 3% per tahun, selain perlunya memperluas ruang lingkup dan penegakan regulasi efisiensi energi untuk mengirimkan sinyal kuat ke pasar tentang perkembangan efisiensi energi. Hal ini juga akan memberikan insentif yang lebih besar kepada pemilik atau pengelola aset, terutama di sektor dengan aset yang seringkali berumur panjang seperti sektor industri dan bangunan, dengan mendorong mereka memprioritaskan aksi dan investasi untuk memenuhi persyaratan kebijakan.

Peraturan Pemerintah No. 70/20099 menetapkan persyaratan tentang konservasi energi untuk perusahaan-perusahaan dengan konsumsi energi tahunan melebihi 6.000 ton setara minyak, yang mewakili sekitar 60% konsumsi energi industri di Indonesia (IEA, 2018[4]). Peraturan ini mengharuskan para penggunanya menunjuk manajer energi, mengembangkan rencana konservasi energi, melakukan audit energi dan melaporkan konsumsi energi tahunannya kepada pemerintah. Kementerian ESDM kemudian mengeluarkan Peraturan No. 14/201210 sebagai peraturan pelaksana untuk Peraturan Pemerintah Tahun 2009 tersebut, dengan mencantumkan ketentuan tentang penghematan dan pengelolaan energi untuk para pengguna energi tertentu dengan menetapkan persyaratan untuk: mengembangkan program konservasi energi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang; melakukan audit energi secara berkala (sekurang-kurangnya satu kali setiap tiga tahun); melaksanakan rekomendasi audit tersebut; dan menyerahkan laporan kepada pemerintah setiap tahun tentang status konservasi energi dan pelaksanaan audit energi.

Kementerian ESDM juga bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan Badan Standardisasi Nasional dengan dukungan dari United Nations Industrial Development Organisation and the Global Environment Facility membantu adopsi standar manajemen energi dan optimisasi sistem untuk industri, berdasarkan sistem manajemen energi International Organisation for Standardisation (ISO) 50001, yang digunakan di lebih dari 100 negara di lebih dari 42.000 lokasi pada 2019 (ISO, 2020[5]). Standar Nasional Indonesia atau SNI) ISO 50015/201411 yang dihasilkan menetapkan prinsip-prinsip dan pedoman umum pengukuran dan verifikasi kinerja energi organisasi atau komponen-komponennya dan pada 2019, 76 lokasi di Indonesia memperoleh sertifikasi ISO-50001.

Indonesia juga telah mengambil berbagai langkah selama dekade terakhir ini untuk menetapkan standar bangunan dan mengarusutamakan efisiensi energi ke dalam undang-undang bangunan. SNI pertama untuk Konservasi Energi pada Selubung Bangunan12 di tahun 2011 ditetapkan dalam satu set kode bangunan tentang konservasi energi dan prosedur audit energi untuk semua bangunan baru non-residensial dan bangunan yang dalam proses renovasi besar. Walaupun bersifat sukarela, kode ini mengatur standar yang diperlukan untuk selubung bangunan, sistem pendingin udara, penerangan dan prosedur audit energi, yang semuanya merupakan langkah penting untuk menuju kewajiban penerapan kode bangunan. Akibatnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) mengeluarkan pertahuran tahun 201513 yang mewajibkan gedung-gedung dengan luas lebih dari 500 meter persegi untuk memenuhi persyaratan kinerja energi minimum, dengan kewajiban pelaksanaan dan sertifikasi serta insentif terkait dengan bangunan hijau (lihat Bab 5). Sayangnya, keputusan tersebut tidak mengatur sanksi terhadap ketidakpatuhan, walaupun mengatur kerangka penting untuk pengembangan kode bangunan hijau di daerah (Hakim, 2015[6]).

Pada 2017, peraturan tentang bangunan telah berlaku di 412 dari 508 pemerintah daerah, termasuk peningkatan pemanfaatan program sertifikasi internasional seperti sertifikasi EDGE14, yang digunakan untuk mensertifikasi 339 bangunan hijau di Jakarta pada 2018 (Rahman, 2019[7]). Dewan Bangunan Hijau Indonesia (Green Building Council of Indonesia) juga telah mendukung peluncuran Alat Pemeringkat Greenship (Greenship Rating Tools)15. Namun dalam praktiknya, penerapan kode dan standar energi bangunan di daerah ini agak lemah dan sampai tahun 2019, hanya tiga kota (Jakarta, Bandung, dan Surabaya) yang telah melaksanakan keputusan Menteri PUPR 2015 tentang bangunan hijau.

Pemerintah Kota Bandung memiliki kode bangunan hijau dengan persyaratan efisiensi energi wajib untuk bangunan berukuran besar dan beberapa persyaratan kinerja energi tambahan untuk bangunan berukuran kecil (Pahnael, Soekiman and Wimala, 2020[8]). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah mengeluarkan Peraturan No. 38/201216 tentang persyaratan efisiensi energi wajib dan standar konsumsi penggunaan energi untuk bangunan berukuran besar. Yang tidak kalah pentingnya, peraturan pemerintah daerah Jakarta menetapkan perencanaan, konstruksi, pemanfaatan, pemeliharaan dan dekonstruksi bangunan, dengan berfokus pada efisiensi energi, efisiensi air, kualitas udara dalam ruangan, pengelolaan limbah dan tanah, serta kegiatan konstruksi. Peraturan ini juga melarang dan membatasi bangunan yang tidak memenuhi standar tersebut untuk memperoleh izin bangunan – sebuah langkah regulasi yang sangat penting yang dapat diterapkan oleh kota-kota lain untuk meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan kinerja energi.

Untuk peralatan elektronik, Indonesia menetapkan program pencantuman label hemat energinya yang pertama berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 6/201117 untuk memberikan informasi tentang kinerja energi lampu compact fluorescent lamp (CFL). Program awal tersebut meliputi pencantuman label sukarela untuk lampu CFL dan kemudian peralatan AC, lemari es dan freezer. Pada tahun 2014, persyaratan pencantuman label wajib dan SKEM yang pertama dikembangkan untuk lampu CFL18 dan kemudian untuk AC single split, yang dipasang di dinding perumahan (tipe inverter dan non-inverter) pada tahun 201519. Pencantuman label energi wajib ini diterapkan berdasarkan skema pemeringkatan bintang satu sampai dengan empat (one-to-four-star rating scheme) di Indonesia yang dikembangkan pada tahun 2016, yang menunjukkan kinerja energi produk sesuai peringkat bintang, di mana empat bintang diberikan untuk produk berkinerja terbaik.

Pemerintah berencana untuk meningkatkan cakupan SKEM untuk sepuluh peralatan listrik lainnya seperti kipas angin, televisi, penanak nasi (rice cooker), lemari es, dan motor listrik. Rencana ini merupakan langkah penting, karena peningkatan SKEM dapat mengatasi kesenjangan dalam cakupan kebijakan, seperti kurangnya standar kinerja wajib untuk sistem motor listrik, yang menyumbang sekitar 60% dari penggunaan listrik dalam industri (IEA, 2018[4]). Diperkirakan 35% dari stok motor terpasang di Indonesia beroperasi pada kelas efisiensi Energi Internasional (International Energy/IE) IE0, yang menyisakan ruang besar untuk penghematan energi. Jika SKEM yang direncanakan untuk motor listrik saat ini menetapkan ambang batas tingkat IE2 (seperti di Cina), penggunaan listrik industri pada tahun 2030 dapat dikurangi sebesar lebih dari 2 terawatt-hours (TWh) atau hampir empat kali lipat dari listrik yang dihasilkan oleh tenaga surya atau bayu di Indonesia pada tahun 2019 (IEA, 2017[9]; IEA, 2020[10]).

Perencanaan perluasan SKEM di Indonesia merupakan langkah maju yang penting, mengingat kebijakan efisiensi energi hanya mencakup sekitar 18% dari total penggunaan energi final di Indonesia, tanpa memperhitungkan kepatuhan dan pelaksanaan sesungguhnya terhadap regulasi efisiensi energi (Gambar 3.1). Cakupan kebijakan tertinggi dicapai sektor industri berkat Peraturan Pemerintah tahun 2009 dan persyaratan yang dikeluarkan Menteri ESDM tahun 2012 untuk pengguna energi berskala besar, walaupun kepatuhannya tidak bersifat menyeluruh. Kode energi untuk bangunan komersial besar menunjukkan adanya cakupan kebijakan yang kuat tentang penggunaan energi bangunan non-residensial, walaupun hal ini tidak mencerminkan pemanfaatan aktual dari upaya efisiensi energi, karena aturan yang sebagian besar bersifat sukarela. Di sisi residensial, kurangnya aturan tentang energi bangunan dan terbatasnya SKEM untuk peralatan elektronik menunjukkan sangat rendahnya ruang lingkup kebijakan (IEA, 2018[4]). Demikian pula, sektor transportasi tidak memiliki standar kinerja energi, khususnya untuk armada kendaraan penumpang yang berkembang dengan pesat.

Peraturan, standar, dan aturan pencantuman label efisiensi energi di Indonesia yang diberlakukan dengan sejumlah pembatasan terkait kepatuhan, pelaksanaan, dan efektivitas kebijakan, menunjukkan peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, peraturan SKEM untuk lampu CFL dan AC mengharuskan produk di pasar untuk diuji di fasilitas yang disetujui pemerintah sebelum memperoleh izin komersialisasi. Namun, hanya 18 dari 35 perusahaan yang mematuhi persyaratan pengujian lampu CFL pada tahun 2016, yang mencakup hanya 27% dari 280 juta penjualan lampu CFL di tahun yang sama (IEA, 2017[9]).

Pemerintah menanggapi secara serius kurangnya kepatuhan produsen terhadap persyaratan ini, dengan mencabut izin dan meminta produsen untuk menarik produk yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hasilnya, terjadi peningkatan kepatuhan produk. Sebanyak 32 perusahaan mematuhi SKEM lampu CFL dan persyaratan pencantuman label pada tahun 2019.

Masalah serupa terkait kepatuhan dapat dilihat dalam pelaporan manajemen energi industri. Di tahun 2018, dari 346 industri yang diminta Kementerian ESDM untuk melaporkan audit energi, hanya 44 yang menyampaikan pelaporannya, yang menyebabkan hilangnya kesempatan penghematan energi, karena perusahaan yang menyampaikan pelaporannya diperkirakan telah melakukan penghematan energi sebesar total 1,1 TWh pada tahun tersebut (MEMR, 2019[12]). Sejak saat itu, pemerintah berupaya meningkatkan pemantauan dan persyaratan kepatuhannya, dan pada tahun 2019, 148 perusahaan melaporkan aktivitas pengelolaan energinya. Angka ini masih bisa ditingkatkan lagi, seiring dengan semakin banyaknya perusahaan yang mematuhi ISO 50001 (naik dari 26 perusahaan pada tahun 2017 menjadi 106 pada tahun 2019). Pada awal 2020, Kementerian ESDM juga menyatakan niatnya untuk meningkatkan audit dan survei energi secara signifikan dan memutakhirkan Sistem Pelaporan Online Manajemen Energi (Energy Management Online Reporting System) (IESR, 2021[13]).

Tantangan lain yang dihadapi pemerintah terkait kebijakan efisiensi energi adalah lemahnya data pasar tentang tingkat efisiensi yang tersedia. Misalnya, SKEM AC 2015 dirancang dengan peringkat efisiensi energi (energy efficiency rating/EER) minimum 2,5. Namun, peningkatan data melalui registrasi AC dan data statistik pasar lainnya menunjukkan bahwa AC impor yang paling tidak efisien telah mencapai 2,53 EER, sedangkan AC produksi lokal yang paling tidak efisien berada di atas 2,65 EER. Faktanya, sebanyak 80% AC yang tersedia di pasar Indonesia telah memenuhi peringkat tertinggi (bintang empat) pada tahun 2015, sehingga menggambarkan kesenjangan antara kebijakan dan tren pasar (Letschert et al., 2017[14]).

Pemutakhiran SKEM AC diumumkan melalui Peraturan Menteri ESDM No. 57/201720, yang menargetkan nilai EER minimum 2,64 pada Agustus 2018 dan 2,92 setelah Juli 2020. Angka EER ini masih mendekati nilai terbawah tingkat efisiensi yang tersedia di pasar (IEA, 2018[4]), tetapi peraturan yang baru menetapkan persyaratan penting bahwa prosedur pengujian harus dilaksanakan oleh lembaga tersertifikasi, yang seharusnya membantu meningkatkan data pasar tentang tingkat kinerja yang tersedia. SNI 8476/201821 juga mencantumkan persyaratan pengujian tambahan untuk kemasan cair dingin (liquid-chilling package) dengan sistem kompresi uap dan kapasitas pendinginan 350 kilowatt atau lebih.

Indonesia telah menetapkan sejumlah kebijakan lain untuk mendukung pelaksanaan peraturan efisiensi energinya secara efektif. Misalnya, Peraturan Menteri Industri 201522 dan 201623 yang menugaskan lembaga terakreditasi dan laboratorium pengujian untuk melaksanakan dan memantau SNI untuk AC, kulkas dan mesin cuci. Peraturan Menteri ESDM No. 01/201624 mengatur pedoman dan prosedur pengujian aktual dan sertifikasi produk, sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden No. 79/2010 tentang Ratifikasi perjanjian Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tentang harmonisasi prosedur peraturan peralatan listrik dan elektronik25.

Standar tambahan diterapkan untuk mendukung validasi kinerja energi secara efektif di pasar. SNI ISO 50006/201426 berisi prinsip umum dan pedoman tentang cara menetapkan, menggunakan dan mempertahankan indikator kinerja energi dan baseline energi sebagai bagian dari proses pengukuran kinerja energi, sementara SNI ISO 50002/201427 menerapkan standar ISO dan menjelaskan prinsip-prinsip pelaksanaan audit energi, termasuk persyaratan proses umum selama audit, dan hasil kerja (deliverables) audit energi. Langkah-langkah ini merupakan tahapan pencapaian penting untuk memastikan penerapan yang berlaku dalam peraturan efisiensi energi yang berkembang di Indonesia.

Seiring dengan upaya perluasan regulasi efisiensi energinya, Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara lain untuk memastikan pemantauan, verifikasi, dan penegakan SKEM dan program pencantuman label yang lebih baik. Misalnya, Australia telah menunjukkan praktik pemantauan yang baik melalui basis data registrasi produk wajib berikut data penjualan pasar untuk memudahkan pelacakan pasar secara sangat terperinci (Energy Rating, 2016[15]). Di India, Bureau of Energy Efficiency membentuk sebuah lembaga pemantauan dan evaluasi independen28, mirip dengan program pengawasan pasar nasional yang dibuat oleh Pemerintah Inggris melalui pendanaan ring-fenced (OPSS, 2019[16]). Proyek Larangan Penghindaran Standar untuk Survei Pasar yang Lebih Baik (Anti-Circumvention of Standards for Better Market Survey) Uni Eropa dibuat dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi permainan dalam prosedur pengujian (AntiCSS, 2019[17]).

Indonesia juga harus mempercepat pemutakhiran SKEM dan skema pencantuman label yang ada untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan potensi efisiensi energi yang tersedia di pasar (misalnya, dengan memanfaatkan penurunan biaya yang signifikan dalam teknologi light-emitting diode [LED]). Selain itu, pemerintah dapat melengkapi SKEM yang semakin berkembang dengan unsur-unsur pendukung seperti insentif keuangan, bantuan teknis, dan program peningkatan kesadaran untuk menciptakan pendekatan “dorong dan tarik (push and pull)” yang umum diterapkan di negara-negara lain, dengan membantu mengeluarkan produk yang paling tidak efisien dan mendorong penggunaan produk yang paling efisien (lihat Bab 5).

Indonesia memiliki sejumlah program peningkatan kesadaran yang bertujuan untuk mendorong penerapan dan kepatuhan terhadap efisiensi energi. Penghargaan efisiensi energi PEEN29 diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM pada tahun 2012 untuk meningkatkan efisiensi energi dalam sektor bangunan dan industri. Selaras dengan Penghargaan Energi ASEAN (ASEAN Energy Award), PEEN mempromosikan efisiensi energi di sektor bangunan dan industri dengan memberikan pengakuan kepada lembaga yang telah berhasil menerapkan langkah-langkah efisiensi energi; meningkatkan partisipasi dan kesadaran pemangku kepentingan dalam melaksanakan efisiensi energi dan konservasi energi; memperkenalkan praktik-praktik terbaik untuk sistem pengelolaan energi; dan memberikan insentif kepada pemerintah pusat dan daerah yang telah melaksanakan langkah-langkah efisiensi energi. Pada tahun 2019, penghargaan PEEN diikuti oleh 120 peserta, meningkat sepuluh kali lipat sejak peluncuran pertamanya tahun 2012 (MEMR, 2020[18]).

Kementerian ESDM mempunyai tiga program untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya efisiensi energi, dengan sasaran kelompok audiens berbeda. Program tersebut adalah:

  • Kampanye Potong 10%, sebuah program berskala nasional yang diluncurkan pada tahun 2016 dengan target pemangku kepentingan sektor energi. Tidak ada insentif untuk peserta, tetapi Kementerian ESDM mendorong pengguna energi untuk berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari potongan tagihan listrik.

  • Konservasi Energi Goes to Campus, program yang memperkenalkan mahasiswa kepada prinsip-prinsip dasar efisiensi energi, standar ISO 50001 dan lapangan kerja untuk auditor energi dan manajer energi.

  • Inisiatif penerangan jalan yang diluncurkan pada tahun 2016 untuk menggantikan lampu halogen konvensional dengan penerangan LED di 93 kota sebagai bagian dari kampanye publik untuk efisiensi energi dengan menggunakan anggaran negara setiap tahunnya. Pada akhir tahun 2018, sekitar 15.000 unit lampu dipasang, sehingga menghemat 6.7 gigawatt-jam listrik setiap tahun (MEMR, 2019[12]).

Inisiatif serupa antara lain Penghargaan Adiwiyata dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menargetkan sekitar 500 sekolah menengah pertama dan atas yang menerapkan pendekatan lingkungan, termasuk efisiensi energi, dalam kegiatan sekolah mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian ESDM dan Kementerian Dalam Negeri telah berkolaborasi untuk mendorong efisiensi energi di gedung-gedung milik pemerintah provinsi dan daerah, dengan target implementasi di 18 provinsi pada tahun 2020. Selain itu, Kementerian ESDM bekerja sama dengan para ulama (Muslim clerks) dan organisasi Islam lainnya untuk mendorong efisiensi energi, serta dengan asosiasi ibu rumah tangga Dharma Wanita dan pemerintah kecamatan di wilayah Jakarta raya.

Publikasi terbaru seperti edisi tahunan Data & Information of Energy Conservation Kementerian ESDM30 membantu menunjukkan perkembangan dalam implementasi dan inisiatif kebijakan efisiensi energi. Informasi ini sangat penting dalam memantau aturan kebijakan efisiensi energi yang efektif, dan pemerintah dapat mempertimbangkan untuk melacak indikator tambahan seperti evolusi pangsa peralatan elektronik berbintang di pasar. Dengan cara demikian, masyarakat dapat memahami perkembangan kebijakan, sekaligus meningkatkan kapasitas untuk mengidentifikasi kesenjangan dan peluang di pasar.

Pemerintah harus melanjutkan inisiatif peningkatan kesadaran, sebagai unsur penting dalam proses interaktif untuk melibatkan penduduk, usaha, dan pemangku kepentingan energi terkait melalui strategi komunikasi dan pemberdayaan yang telah terbukti efektif di negara lain. Misalnya, Perancis melakukan kampanye media untuk mempromosikan retrofit energi bangunan tempat tinggal, dengan menunjuk organisasi nirlaba yang akan menyediakan konsultasi gratis dan independen untuk membantu pemilik rumah memilih solusi efisiensi energi yang tepat (IEA, 2019[19]). Media kampanye lainnya juga menggunakan program renovasi di sekolah-sekolah untuk menyampaikan nilai bangunan berkelanjutan dengan guru, anak-anak dan orang tua (IEA-UNEP, 2018[20]). Upaya ini melengkapi kebijakan yang bertujuan meningkatkan kinerja energi dari bangunan yang ada di Perancis, dengan membantu menciptakan persetujuan publik yang makin luas akan perlunya berinvestasi dalam bangunan sebagai bentuk penerapan efisiensi energi.

Pasar jasa energi, yang berperan penting dalam meningkatkan kinerja energi di negara-negara besar lainnya seperti Cina, India, Amerika Serikat, dan Eropa, masih relatif baru di Indonesia, dengan perkembangan model ESCO dan kontrak kinerja energi yang masih terbatas. Pengaturan kontrak ini, biasanya menggunakan pendekatan jaminan atau penghematan bersama (guaranteed or shared savings approach) dapat membantu mengatasi hambatan utama dalam investasi efisiensi energi, seperti kurangnya kapasitas teknis atau kurangnya pembiayaan yang memadai untuk belanja modal di awal.

Hingga saat ini, Indonesia memiliki beragam pengalaman dengan pasar ESCO dan regulasi yang ada dapat mempersulit pelaku pihak ketiga untuk memasuki ruang jasa energi tersebut. Peraturan Menteri ESDM No. 14/201631 tentang pelaksanaan jasa konservasi energi mengatur kerangka kebijakan tentang ESCO termasuk standar penyelenggaraan perusahaan jasa konservasi energi untuk memastikan kemandirian, keandalan, transparansi, daya saing dan efisiensinya, terutama terkait ketentuan tentang pemanfaatan (guaranteed and shared savings).

Walaupun standar ini umumnya merupakan praktik baik yang ada di negara lain dengan pasar ESCO yang kuat, namun jika hanya Peraturan Menteri ESDM saja maka tidak dapat mendorong perkembangan pasar ESCO di Indonesia. Hal ini sebagian disebabkan oleh isu pasar atau masalah terkait lainnya, seperti kurang memadainya modal atau agunan bagi banyak ESCO untuk memenuhi persyaratan agunan bank. Hambatan lain seperti kapasitas yang belum berkembang untuk membiayai dan melakukan audit berstandar investasi juga dapat menghambat pertumbuhan pasar, karena sebagian besar kontrak jasa energi di Indonesia hingga saat ini dilakukan dengan perusahaan teknik (engineering) berskala kecil.

Akhirnya, Peraturan Menteri ESDM tersebut dicabut pada tahun 2018 dan kontrak jasa energi diadakan dengan model bisnis-ke-bisnis, sehingga membuat ESCO tidak memiliki lingkungan regulasi yang tepat sebagaimana halnya di negara lain dengan pasar ESCO yang kuat. Pada dasarnya, PP No. 70/2009 mengatur konteks kebijakan keseluruhan untuk ESCO, tetapi tidak mengatur ketentuan atau pedoman yang memadai untuk membuka potensi perjanjian jasa energi atau kontrak kinerja energi dalam skala besar.

Akibatnya, pasar ESCO Indonesia tidak berkembang: asosiasi ESCO Indonesia, APKENINDO, memperkirakan sekitar 25 perusahaan terdaftar sebagai ESCO pada tahun 2018 (Tumiwa et al., 2019[21]). Sebagai perbandingan, sekitar 50 ESCO beroperasi di Vietnam, 125 masuk dalam daftar Bureau of Energy Efficiency di India, dan 205 terdaftar di negara tetangga Malaysia (Anh, 2020[22]; BEE, 2019[23]; STEC, 2020[24]).

Pada prinsipnya, peraturan pemerintah tentang audit energi dan sistem pengelolaan energi harus membantu meningkatkan permintaan akan jasa energi di masa yang akan datang. Sampai batas tertentu, pasar jasa energi mungkin akan terdorong dengan sendirinya oleh semakin banyaknya perusahaan yang ingin mencapai penghematan energi (misalnya perusahaan dengan persyaratan pengelolaan energi ISO 50001). Model bisnis-ke-bisnis dalam praktiknya hanya dapat berfungsi untuk perusahaan kecil seperti jasa teknik, karena tidak adanya regulasi pengatur (misalnya, dokumen kontrak standar, ketentuan akuntansi yang transparan, dan prosedur arbitrase) menimbulkan risiko bagi pertumbuhan pasar ESCO secara keseluruhan di Indonesia.

Pemerintah juga menghadapi tantangannya sendiri di mana sektor publik seharusnya dapat memberikan teladan, misalnya dengan mendorong pengembangan pasar jasa energi melalui pengadaan publik atau KPBU. Namun regulasi yang ada saat ini telah membuat pelibatan ini menjadi sulit, terutama karena terbatasnya instansi pemerintah yang mengadakan kontrak tahun jamak. Peraturan Presiden No. 38/201532 tentang KPBU untuk menyediakan infrastruktur publik (termasuk konservasi energi) mengatur agar proses KPBU menjadi lebih efisien dan bankable (Hermawan, Hermawan and Bahar, 2015[25]). Tetapi, KPBU untuk efisiensi energi masih belum lazim, karena prosesnya memerlukan koordinasi ekstensif dari berbagai pemangku kepentingan dan karena penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) seringkali tidak memiliki keterampilan dan pengalaman untuk menyusun KPBU.

Pemerintah memiliki sekretariat bersama KPBU untuk mendukung peningkatan kapasitas dengan pemerintah pusat dan daerah dan untuk memfasilitasi penanggung jawab proyek kerja sama dalam mempersiapkan proyek KPBU. Akan tetapi, jumlah KPBU untuk efisiensi energi di Indonesia masih terbatas. Sebaliknya, kurangnya KPBU untuk efisiensi energi menyebabkan bank dan pelaku pasar lainnya menjadi tidak terbiasa dengan jenis proyek ini dan risikonya, sehingga membatasi keinginan mereka untuk memberikan pembiayaan kepada ESCO untuk jenis proyek ini.

Ada berbagai cara untuk mengatasi hambatan ini dan menerapkan solusi berbasis pasar untuk pengadaan efisiensi energi publik, mulai dari program percontohan untuk menunjukkan potensi efisiensi energi KPBU hingga standarisasi dokumen untuk proyek-proyek tersebut. Pemerintah, misalnya, dapat mengembangkan pedoman kelembagaan dan dokumen KPBU standar, seperti Panduan Praktik Terbaik pemerintah Australia (Australian government’s Best Practice Guide) (AEPCA, 2000[26]) untuk mendukung instansi pemerintah (serta usaha dan pemilik/manajer fasilitas) dalam menggunakan kontrak kinerja energi. Dokumen ini akan melengkapi Peraturan Bappenas No. 04/2015 dan No. 02/2020, yang mengatur seluruh standar perencanaan dan pelaksanaan KPBU di Indonesia, serta perangkat untuk menyusun dokumen studi pendahuluan yang dibuat oleh Bappenas untuk KPBU penerangan jalan. Indonesia juga dapat mengupayakan solusi potensial untuk mengatasi keterbatasan kontrak tahun jamak, misalnya dengan membiarkan anggaran energi kota "dibekukan" selama jangka waktu perjanjian layanan, sehingga akan menghilangkan kekhawatiran bank terkait pembiayaan proyek-proyek tersebut.

Teratasinya hambatan regulasi untuk pengadaan publik untuk jasa dan solusi energi akan menciptakan permintaan yang cukup besar untuk jasa efisiensi energi, dimana pasar ESCO yang telah tertata dengan baik di Amerika Serikat, Eropa, India, dan Cina dapat berkembang, sebagian besar karena dukungan sektor publik. Pengalaman global dalam mengatasi hambatan pengembangan pasar jasa energi juga dapat memberikan wawasan. Misalnya, Republik Ceko mereformasi prosedur pengadaan publik untuk memfasilitasi kontrak ESCO di sektor publik, memungkinkan kontrak tahun jamak dan retensi penghematan untuk proyek efisiensi energi (Hofer, Limaye and Singh, 2016[27]). Negara-negara lain seperti Singapura, Thailand, dan Turki mengembangkan skema akreditasi ESCO untuk meningkatkan keyakinan pelaku sektor publik dan swasta untuk mengadakan kontrak kinerja energi, sementara di India, pembentukan Perusahaan Terbatas Jasa Efisiensi Energi (Energy Efficiency Services Limited Company) milik negara dilakukan untuk menerapkan penawaran standar kontrak antara lembaga publik dan ESCO.

UU Ketenagalistrikan No. 30/200933 mengatur bahwa PLN akan tetap menjadi penyedia utama pembangkitan listrik, di saat yang sama tetap mempertahankan pengendalian terhadap jaringan transmisi listrik nasional dan penyedia tunggal lainnya dari keseluruhan jaringan transmisi dan distribusi listrik, kecuali di beberapa lokasi spesifik atau zona industri. Dengan demikian, Indonesia tetap merupakan pasar tradisional yang terintegrasi secara vertikal dimana pembangkit listrik IPP dijual kepada pembeli tunggal, yaitu PLN. Tidak ada regulator independen dan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM adalah satu-satunya lembaga yang diberi mandat untuk mengatur PLN dan sektor ketenagalistrikan (lihat Bab 2).

Walaupun PLN mendapat prioritas utama dalam pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik, perusahaan pemasok listrik lainnya masih dapat beroperasi berdasarkan UU Ketenagalistrikan, dengan ketentuan mereka memiliki izin yang sesuai (“IUPTL”). Peraturan Pemerintah No. 14/201234 menetapkan aturan resmi untuk memperoleh izin usaha penyediaan tenaga listrik dan Peraturan Menteri ESDM berikutnya No. 35/201335 menetapkan prosedur untuk memperoleh izin. Peraturan ini diamendemen dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12/201636 dengan ketentuan tambahan bagi perusahaan swasta untuk menjual listrik kepada pemerintah atau secara langsung kepada pelanggan, sepanjang mereka telah memperoleh izin wilayah usaha penyediaan tenaga listrik sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 28/2012, yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri ESDM No. 07/201637.

UU Ketenagalistrikan dan Peraturan Menteri ESDM menetapkan bahwa perusahaan ketenagalistrikan menjalankan kegiatannya secara terintegrasi, walaupun ketentuan ini tidak mencakup semua jenis kegiatan ketenagalistrikan. Secara khusus Mahkamah Konstitusional mengatur dalam Keputusannya No. 111/PUU-XIII/201538 bahwa sistem unbundling (terutama vertical unbundling melalui pemasokan listrik secara langsung kepada pelanggan) adalah inkonstitusional. Keputusan MK ini menetapkan bahwa bahwa sektor ketenagalistrikan memungkinkan bisnis yang terpisah, dengan PLN sebagai off-taker, atau perusahaan listrik swasta yang beroperasi dalam wilayah usaha (misalnya, pembangkitan listrik langsung yang digunakan untuk kawasan industri). Dengan demikian, diperlukan izin usaha untuk menjual listrik energi terbarukan langsung kepada badan usaha lain. Hal ini juga memperumit sistem power wheeling, misalnya untuk pengadaan off-site renewables oleh korporasi, karena pengaturan power wheeling memerlukan persetujuan PLN, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 01/201539.

Secara intrinsik, peran PLN sebagai pembeli tunggal dan peritel tunggal di pasar ketenagalistrikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan pasar ketenagalistrikan di Indonesia. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN menetapkan rencana pengembangan dengan harapan IPP dapat turut berperan, dan dengan demikian, dokumen ini menjadi penting bagi pengembang proyek, yang bergerak dalam bidang pengadaan dan investasi dalam pembangkit dan jaringan listrik (Gambar 3.2). Pada prinsipnya, pengembang dapat mengajukan proyek yang tidak tercantum dalam RUPTL, atau sebaliknya mengusulkan untuk mengubah proyek yang telah direncanakan (MEMR, 2017[28]). Tetapi, dalam praktiknya, PLN adalah mitra dalam setiap PJBTL yang mengatur penjualan listrik dari IPP. Kondisi ini menciptakan lingkungan operasi yang berbelit-belit dimana pelaku pasar lainnya dapat bermanuver.

Secara hukum, pengadaan oleh PLN dapat dilakukan melalui tiga jalur, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 01/200640 (kemudian diubah dengan Peraturan Menteri ESDM No. 04/2007) tentang pengadaan ketenagalistrikan; Peraturan Direktur PLN No. 0022P/DIR/201841 (diubah dengan peraturan No.1720P/DIR/2018 dan No.0062P/DIR/2020) tentang Pembelian Listrik dari Sumber Energi Terbarukan; dan dengan Peraturan Pemerintah No. 14/201242 (dengan amandemen dalam Peraturan Pemerintah No. 21/2014) yang mengatur kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik. Ketiga jalur tersebut adalah (PLN, 2017[30]):

  1. 1. Penunjukan langsung, di mana IPP ditunjuk secara langsung oleh PLN tanpa pengkajian atau pemilihan proyek lain secara kompetitif. Jalur ini mensyaratkan adanya proposal yang tidak diprakarsai pemerintah (unsolicited proposal), yang harus dicantumkan dalam RUPTL berikutnya, sebagai langkah awal setelah persetujuan, sebelum berlanjut ke penilaian PLN.

  2. 2. Pemilihan langsung, di mana lebih dari dua IPP menyerahkan proposal proyek untuk dipilih oleh PLN. Proses seleksi tersebut dapat dikaitkan dengan kuota kapasitas (yang ditawarkan oleh PLN, di mana pemilihan langsung dilakukan berdasarkan RUPTL), dan PLN melakukan uji tuntas (due diligence) sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 10/201743 tentang kemampuan teknis dan finansial IPP.

  3. 3. Tender kompetitif, yang belum berhasil diterapkan, terlepas dari kemungkinan hukumnya. Pada tahun 2013 diselenggarakan tender berskala besar setelah Kementerian ESDM mengumumkan pemasukan penawaran berulang (reverse auction) untuk 140 megawatts (MW) panel surya. Lelang tersebut dibatalkan karena investor asing hanya menggunakan komponen impor yang dianggap inkonstitusional (Burke et al., 2019[31]).

Dalam praktiknya, penunjukan langsung adalah jalur pengadaan termudah dalam pengadaan dengan PLN. IPP yang menandatangani PJBTL melalui proses pemilihan langsung tidak selalu berhasil mencapai pemenuhan pembiayaan (financial close), yang mungkin disebabkan oleh rendahnya kualitas dokumen studi kelayakan (lihat Bab 6). Proses pemilihan langsung mulai dari prakualifikasi sampai dengan pengaturan kontrak memerlukan waktu panjang, sampai dengan 150 hari (PwC, 2018[32]). Peraturan Menteri ESDM No. 03/201544 dapat mempersingkat waktu proses menjadi 45 hari (PLN, 2017[30]), tetapi peraturan ini dicabut berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 03/17.

Secara teori, Peraturan Presiden No.16/201845 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah (mencabut dan menggantikan Peraturan Presiden No. 54/201046) menyederhanakan dan mengoptimalkan proses pengadaan. Akan tetapi, peraturan tersebut tidak berlaku secara resmi untuk badan usaha milik negara seperti PLN. Sekalipun demikian, aturan tersebut tidak mewajibkan pengungkapan alasan penerapan prosedur nonkompetitif, tetapi hanya untuk menunjukkan jenis prosedur (IDFI, 2018[33]). Hal ini berbeda dari praktik terbaik di beberapa negara lain dimana berlaku peraturan yang jelas dan transparan tentang pengadaan tenaga listrik, baik melalui pemilihan langsung maupun tender kompetitif.

Walaupun melalui pengaturan, proses untuk koneksi dan operasi jaringan IPP juga tidak transparan. Peraturan Menteri ESDM No. 01/201547 menetapkan syarat penggunaan bersama jaringan tenaga listrik dan pada prinsipnya, tidak ada diskriminasi dalam hal koneksi jaringan untuk IPP sepanjang aspek keandalan, keamanan dan pertimbangan ekonomi terpenuhi. Pasal 6 Peraturan No. 01/2015 menyatakan bahwa power wheeling harus sesuai dengan biaya yang berlaku dari pemegang izin transmisi. Akan tetapi, tidak dicantumkan peraturan pelaksana yang terperinci tentang bagaimana memahami biaya yang berlaku ini, karena metodologi biaya yang berlaku dapat berbeda antara wilayah satu dan lainnya, sehingga menciptakan ketidakpastian dalam menentukan biaya penggunaan grid dan jaringan yang dapat menghambat perkembangan proyek.

Kurangnya transparansi dan konsistensi dalam pengembangan pasar ketenagalistrikan dapat menciptakan kesan bahwa pengadaan melalui PLN tidak dapat diprediksi dan berisiko (lihat Bab 4). Hal ini tidak hanya akan membatasi potensi investasi di pasar ketenagalistrikan tetapi juga menghambat terciptanya lingkungan yang kompetitif, yang sangat penting untuk pengembangan ketenagalistrikan yang efisien seperti halnya di beberapa negara yang lain.

Indonesia harus berupaya mengatasi hambatan ini, dengan mempertimbangkan pengalaman internasional, seperti reformasi pasar di Maroko yang membentuk badan independen untuk menyelenggarakan tender proyek energi terbarukan. Maroko berhasil menciptakan keadaan seimbang antara utilitas dan investor swasta dengan melakukan tender di luar utilitas milik investor (incumbent utility). Praktik-praktik di negara lain berikut pembelajarannya dapat membantu Indonesia menerapkan ketentuan regulasi yang mengarah pada kompetisi yang jelas dan adil di antara semua pelaku dan investor.

Peraturan Menteri ESDM No. 50/201748 tentang pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan mengharuskan pengadaan proyek listrik energi terbarukan melalui pemilihan langsung dengan kuota kapasitas. PLN selanjutnya melaksanakan Keputusan No. 0022P/DIR/2018 (dan kemudian Peraturan Direktur PLN No. 0062P/DIR/2020) tentang pembelian energi terbarukan dan untuk berpartisipasi, IPP harus memenuhi prakualifikasi berdasarkan kriteria tertentu untuk masuk ke dalam daftar final IPP yang memenuhi syarat (“DPT”) (Hadiputranto, 2019[34]). Kriteria ini bersifat administratif (misalnya, telah memenuhi kewajiban perpajakan), teknis (misalnya, pengalaman dalam mengembangkan IPP dan dapat memenuhi persyaratan tingkat kandungan dalam negeri yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian) dan finansial (misalnya, peringkat kredit yang ditunjukkan atau laporan keuangan yang sehat (PwC, 2018[32]).

Perubahan ini membuat proses pengadaan listrik energi terbarukan menjadi lebih transparan, tetapi mungkin tidak lebih sederhana. Misalnya, proses pemilihan langsung oleh PLN dilakukan pada tahun 2017 dengan kuota kapasitas 168 MW, namun hingga 2019 hasilnya belum diumumkan (Burke et al., 2019[31]). Sebagian karena persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang diperhitungkan dalam proses seleksi, membatasi peluang untuk mencapai penurunan biaya dan berpotensi menimbulkan masalah bagi IPP internasional yang ingin bersaing dalam proses tersebut.

Peraturan Menteri ESDM No. 10/2017 memperluas ketentuan wajib (misalnya, untuk waktu komisioning dan operasi komersial, penyelesaian sengketa dan pengakhiran PJBTL) untuk proyek listrik yang dispatchable (PwC, 2018[32]). Peraturan ini menjamin konsistensi yang lebih baik dengan ketentuan standar yang telah diterapkan untuk PJBTL termal, panas bumi, dan hidroelektrik. Akan tetapi, secara resmi, peraturan tersebut hanya berlaku untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi, tenaga hidro, dan biomassa, tetapi tidak untuk proyek energi terbarukan intermiten seperti pembangkit listrik tenaga surya dan bayu (tanpa memperhitungkan ukurannya), mini-hidro (di bawah 10 MW), biogas, dan sampah. Selain itu, peraturan khusus sebelumnya, seperti PJBTL untuk proyek panel surya berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 19/201649, telah dicabut dalam Peraturan Menteri ESDM No. 9/201850. Terlepas dari niat pembentukannya, lingkungan regulasi menjadi tidak pasti bagi pengembang proyek listrik energi terbarukan.

Peraturan Menteri ESDM No. 49/201751 mengintegrasikan ketentuan tambahan ke dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10/2017, yang mengamanatkan bahwa skema bangun-miliki-guna-serah (build-own-operate-transfer/BOOT) untuk PJBTL memiliki jangka waktu konsesi tidak lebih dari 30 tahun. Peraturan tersebut juga mengharuskan semua PJBTL (termasuk listrik energi terbarukan) menerapkan skema BOOT, secara efektif mengalihkan fasilitas IPP kepada PLN pada saat perjanjian berakhir dan menyiratkan bahwa perpanjangan PJBTL tidak dimungkinkan. Mungkin tidak semua pengembang proyek mempermasalahkan hal ini (misalnya, periode 30 tahun tidak menjadi masalah untuk analisis arus kas diskonto listrik energi terbarukan yang khas), dan sebagian besar proyek sudah secara efektif membentuk pengaturan BOOT dengan PLN. Namun demikian, persyaratan tersebut dapat menimbulkan masalah untuk beberapa proyek listrik energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga biomassa, dimana aset tenaga listrik kadang-kadang tidak dapat dipisahkan dari aset IPP lainnya (misalnya, lahan untuk menghasilkan bahan baku biofuel).

Peraturan Menteri ESDM No. 10/201852 merupakan perubahan atas Peraturan Menteri ESDM No. 10/2017, yang menimbulkan masalah terkait alokasi risiko antara IPP dan PLN. Peraturan sebelumnya membedakan beberapa jenis risiko, termasuk bencana alam (natural force majeure/NFM) dan perubahan kebijakan pemerintah (government force majeure/FM), yang dibedakan menjadi “perubahan undang-undang dan kebijakan” dan “diambilnya atau tidak diambilnya tindakan oleh pemerintah yang tidak dapat dibenarkan” seperti pencabutan izin yang tidak dapat dibenarkan. Risiko keadaan kahar (force majeure) tersebut sebelumnya ditanggung oleh PLN, tetapi Peraturan Menteri ESDM No. 10/2017 memasukkan ketentuan yang membebaskan kedua belah pihak apabila GFM menyebabkan IPP berhenti beroperasi, sehingga mengalihkan risiko de facto kepada IPP. Amandemen tahun 2018 kemudian menghapus penyebutan GFM, menyerahkan kepada para pihak dalam PJBTL untuk menegosiasikan alokasi risiko secara bisnis-ke-bisnis. Amandemen tersebut juga membebaskan PLN dari deemed dispatch payment apabila PLN tidak dapat mengambil alih daya akibat peristiwa NFM dan sebaliknya memberikan kompensasi berupa perpanjangan PJBTL sesuai dengan jangka waktu yang hilang akibat bencana dan perbaikan terkait apa pun. Ketentuan ini dapat menimbulkan masalah bagi IPP yang harus melakukan pembayaran utang dan bunga (debt service payments) secara rutin dari arus kas proyek (PwC, 2018[32]). Hal ini juga menimbulkan risiko bagi pemilik aset karena mereka masih memiliki utang dan bunga yang harus dilunasi apabila terjadi keadaan kahar, sehingga memengaruhi bankabilitas PJBTL.

Peraturan tahun 2017 ini sekali lagi diubah dengan Peraturan Menteri ESDM No. 04/202053 yang memberlakukan tiga perubahan terhadap pengadaan proyek-proyek listrik energi terbarukan. Pertama, menetapkan kembali kemungkinan bagi PLN untuk menerapkan jalur penunjukan langsung kepada IPP energi terbarukan dan kedua, menghapuskan persyaratan untuk mengembangkan proyek secara eksklusif berdasarkan skema BOOT. Ketiga, mengharuskan PLN memprioritaskan listrik dari IPP energi terbarukan berdasarkan aturan harus beroperasi terus menerus (must-run), tanpa pembatasan dalam kapasitas pembangkitan IPP tersebut. Seluruh perubahan tersebut menunjukkan perkembangan positif yang lebih mendekati praktik internasional.

Peraturan Presiden tentang listrik energi terbarukan diperkirakan akan diterbitkan pula pada tahun 2021 untuk memfasilitasi lebih lanjut proyek listrik energi terbarukan lebih lanjut. Sebagai contoh, Kementerian ESDM diharapkan memberikan kuota energi terbarukan, Kementerian Perencanaan Tata Ruang akan memberikan bantuan dalam hal perizinan lahan, Kementerian Perindustrian akan melonggarkan beberapa persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan menerapkan proses perizinan terintegrasi dengan pemerintah pusat dan daerah untuk memantau dan memudahkan penerbitan izin. Sementara itu, peraturan pelaksana berikutnya perlu memastikan bahwa proses pengadaan secara keseluruhan jelas dan konsisten di semua proyek listrik energi terbarukan. Pemerintah harus berupaya untuk memastikan bahwa perubahan kebijakan positif yang terjadi baru-baru ini merupakan bagian dari proses yang lebih dapat diprediksi dan transparan. Hal ini merupakan unsur penting untuk menciptakan daya tarik bagi negara lain dalam pengembangan listrik energi terbarukan berskala besar yang tersebar luas.

Peraturan Menteri ESDM No. 31/2009 menjadi dasar penetapan harga energi terbarukan di Indonesia, dengan menetapkan tarif FiT (Feed-in Tariff) tunggal untuk pembelian listrik energi terbarukan oleh PLN. Perubahan selanjutnya yang dibuat oleh Menteri ESDM dan PLN adalah menaikkan FiT secara berturut-turut sebagai upaya untuk menarik pengembangan proyek listrik energi terbarukan, tetapi ketentuan tentang FiT tersebut dicabut melalui Peraturan Menteri ESDM No. 04/2012 dan kemudian melalui Peraturan Menteri ESDM No. 07/2018. Sistem pagu harga yang baru, diperkenalkan melalui Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 (kemudian direvisi dengan Peraturan Menteri ESDM No. 53/2018 dan 04/2020). Dengan demikian, tarif untuk proyek listrik terbarukan ditentukan secara relatif terhadap tarif rata-rata PLN untuk penyediaan tenaga listrik (Biaya Pokok Penyediaan atau BPP) di tingkat nasional dan daerah.

BPP merupakan biaya PLN untuk pengadaan listrik dari berbagai sistem yang tercantum dalam keputusan tentang BPP yang ditinjau setiap tahun. BPP harus mencantumkan pertimbangan harga bahan bakar, depresiasi operasi dan pemeliharaan, biaya yang dikeluarkan untuk pembangkit listrik dan penyesuaian tahunan. BPP tahun bersangkutan dihitung berdasarkan realisasi BPP pada tahun sebelumnya dan harus memperhatikan prinsip proses yang efektif, efisien dan akuntabel. Menteri ESDM berhak menetapkan rumus penghitungan BPP, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 24/2017 tentang mekanisme penetapan biaya pembangkitan untuk PLN, walaupun sebenarnya perhitungan BPP yang terdaftar masih belum terlalu jelas. Sebaliknya, penggunaan BPP yang terdaftar bersifat langsung: jika BPP daerah lebih tinggi dari BPP nasional, tarif untuk panel surya, bayu, biomassa, biogas, dan tenaga gelombang laut tidak boleh melebihi 85% dari biaya setempat (untuk sampah kota, panas bumi, dan tenaga hidro, tarifnya tetap 100%); apabila BPP setempat lebih rendah daripada BPP nasional, IPP dan PLN dapat menetapkan tarif yang disepakati bersama, kemungkinan besar 100% dari BPP setempat.

Pendekatan remunerasi ini bukanlah praktik yang umum diterapkan secara global (Gambar 3.3) dan dapat mencegah terjadinya penurunan harga yang menguntungkan konsumen dan menarik investasi. Skema FiT dan feed-in-premium (FiP) merupakan metode paling umum yang digunakan untuk menentukan tarif listrik energi terbarukan, meskipun jumlah negara yang menerapkan metode ini sedikit menurun dalam beberapa tahun terakhir akibat meningkatnya penerapan skema lelang. Di pasar yang menerapkan skema lelang, pembatasan harga (price caps) dapat diterapkan, tetapi pada umumnya batasan ini lebih terkait dengan penghitungan tingkat pengembalian (rate of return) yang disetujui, daripada biaya pembangkitan suatu sistem. Pengalaman internasional juga menunjukkan bahwa tarif energi terbarukan berkurang secara signifikan setelah suatu negara mencapai skala penyebaran tertentu. Dengan mengaitkan tarif energi terbarukan dengan BPP, Indonesia menciptakan hambatan untuk mencapai penurunan harga yang merupakan daya tarik investasi lebih lanjut.

Perubahan regulasi tentang penerapan BPP mendapatkan kritik luas dari pendukung energi terbarukan, yang menganggap bahwa struktur tarif tersebut menyulitkan dan berisiko bagi pengembang. Pemberian subsidi berkelanjutan untuk tarif listrik konsumen (lihat Bab 5) secara tidak langsung mendorong penggunaan batu bara murah, sehingga menurunkan BPP di banyak wilayah yang pada akhirnya menciptakan kondisi tidak seimbang untuk pembangkitan listrik energi terbarukan (Bridle et al., 2018[36]). Studi yang dilakukan oleh Global Subsidies Initiative menunjukkan bahwa jika subsidi batu bara (misalnya, melalui bantuan kredit dan kewajiban pasar dalam negeri) dicabut, tarif listrik dari pembangkit listrik tenaga batu bara akan naik sebesar USD 0,05 per kilowatt-jam kWh), sehingga membuat proyek listrik energi terbarukan menjadi lebih menarik dalam skema BPP saat ini (Attwood et al., 2017[37]). Walaupun tujuan pemerintah menurunkan BPP untuk memastikan tarif yang terjangkau dapat dipahami, pemberian subsidi bahan bakar fosil secara terus menerus tidak akan menciptakan keseimbangan yang sangat diperlukan untuk mencapai ambisi tersebut secara hemat biaya dan kompetitif.

Masih harus dilihat apakah langkah-langkah regulasi selanjutnya seperti peraturan presiden tentang listrik energi terbarukan akan membahas skema tarif BPP dan menimbulkan masalah terkait bankabilitas proyek listrik energi terbarukan. Rancangan regulasi diharapkan akan memperkenalkan lelang untuk proyek energi terbarukan berskala besar dan memperkenalkan kembali FiT untuk proyek berskala kecil. Ambang batas yang diharapkan adalah 10 MW dan komponen lokasi diantisipasi dalam struktur harga, meskipun tidak jelas apakah terdapat komponen lokasi untuk lelang dan FiT. Perlu juga dipertimbangkan bahwa remunerasi FiT akan dilakukan dalam dua tingkatan, dengan FiT yang lebih tinggi di awal PJBTL dan FiT yang lebih rendah menjelang berakhirnya perjanjian.

Pembayaran berlapis semacam itu tidak selalu umum dalam mekanisme remunerasi lain di seluruh dunia, tetapi seharusnya tidak menimbulkan kerugian dalam desain FiT. Transparansi harga dan keseimbangan antara tingkat penetapan harga dan faktor lain seperti kemudahan perizinan, persepsi stabilitas regulasi dan unsur kontrak terkait (misalnya, klausul arbitrase) merupakan unsur terpenting. Apabila dirancang dan diterapkan dengan cermat, peraturan presiden tentang energi terbarukan dapat memfasilitasi investasi di sektor energi terbarukan di level yang lebih tinggi di Indonesia, mengatasi beberapa masalah dalam regulasi yang berlaku saat ini yang menghalangi masuknya investasi ke dalam proyek listrik terbarukan.

Target RUEN adalah instalasi sekitar 6,5 GW pembangkit listrik tenaga surya, termasuk panel surya atap tersebarkan (distributed rooftop solar) dan pemerintah telah mencoba untuk mendorong pengembangan kapasitas tenaga surya melalui inisiatif “Satu Juta Panel Surya Atap (One Million Rooftops Solar)”, yang mencapai lebih dari 2.300 pelanggan pada pertengahan tahun 2020, dengan total kapasitas mencapai 11,5 MW (MEMR, 2020[38]). Namun demikian, perubahan kerangka regulasi baru-baru ini tidak mencerminkan ambisi ini. Peraturan Menteri ESDM No. 49/201854 tentang pemanfaatan panel surya atap telah mengubah pengaturan net-metering dengan PLN. Berdasarkan peraturan tersebut, pelanggan diharuskan untuk mengajukan permohonan resmi untuk mendapatkan manfaat dari skema net-metering, di mana setiap listrik yang diekspor ke jaringan dihitung sebesar 65% dari tarif PLN yang berlaku. Dengan kata lain, jika panel atap memproduksi dan mengekspor 600 kWh, maka pelanggan hanya akan mendapat kredit 390 kWh (600x65%). Tarif 65% ini dijadikan patokan untuk membayar biaya infrastruktur jaringan yang mendukung aset pembangkitan. Tetapi, karena kalkulasinya jelas-jelas mendukung konsumsi di lokasi (on-site consumption) (di mana 100% dari produksi di lokasi [on-site production] dikurangkan dari tagihan akhir konsumen), skema net-metering tidak selalu memberikan insentif nyata kepada calon eksportir untuk produksi listrik energi terbarukan di tempat.

Praktik ini berbanding terbalik dengan kebijakan historis yang mengkreditkan "penghematan" dari produksi listrik tenaga panel surya atap, yang berarti setiap kWh listrik dikreditkan ke saldo konsumen selama satu tahun. Perubahan selanjutnya terhadap Peraturan Menteri ESDM No. 16/2019 (perubahan atas Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018) diharapkan dapat meningkatkan perhitungan ekspor dari 65% menjadi 75%, dan menjadi 90% untuk konsumen yang memiliki baterai. Akan tetapi, aturan tarif ini masih belum sesuai dengan skema net-metering global. Bergantung pada kecanggihan pasar, di beberapa negara, ekspor daya dibayar sesuai dengan tarif FiT, sementara di negara lain ditetapkan pada harga tunai (spot price) per jam. Di Denmark, misalnya, daya apa pun yang diekspor dari tenaga panel surya atap akan dibayarkan pada harga pasar per jam dan tarif jaringan dihitung secara terpisah. India menggunakan struktur penyelesaian yang berbeda, bergantung pada negara bagian dan model bisnis yang digunakan. Secara umum, jika digunakan net-metering, net antara konsumsi dan produksi sendiri diselesaikan dengan tarif yang berlaku (yaitu, tarifnya menjadi 100% jika dibandingkan dengan Indonesia). Dalam hal gross metering, ekspor pembangkitan diselesaikan dengan tarif FiT, yang biasanya lebih rendah daripada tarif yang dikenakan untuk konsumsi.

Kurangnya transparansi tentang nilai ekspor tenaga surya di Indonesia, dengan mengintegrasikan tarif jaringan ke dalam penyelesaian ekspor listrik, mungkin telah menciptakan hambatan bagi investasi, selain mempersulit tolok ukur penetapan harga layanan jaringan dari PLN. Hal ini berlaku tidak hanya untuk instalasi panel surya atap berskala kecil (misalnya, pada bangunan tempat tinggal), melainkan juga untuk usaha dan industri yang jumlahnya semakin besar, yang ingin mendapatkan listrik energi terbarukan melalui pengadaan korporasi untuk energi terbarukan (lihat Bab 5). Walaupun pembangkit listrik terintegrasi (captive power plants) di suatu wilayah usaha mungkin berfungsi untuk beberapa konsumen, sejumlah besar pelanggan korporat yang mengupayakan listrik energi terbarukan memerlukan koneksi jaringan. Penetapan tarif ekspor net-metering pada tarif yang lebih rendah dapat dianggap merugikan energi terbarukan di lokasi (dibandingkan dengan investasi dalam langkah-langkah konservasi energi untuk mencapai kesetaraan dalam pembangkitan listrik di lokasi).

Secara resmi tidak dilakukan penyelarasan antara regulasi listrik energi terbarukan dan efisiensi energi di Indonesia, walaupun KEN dan RUEN mewajibkan otoritas perencanaan di Indonesia untuk memasukkan konservasi energi dalam perencanaan ketenagalistrikan. Oleh karena itu, pemodelan energi untuk RUEN dan RUPTL 2019-28 memasukkan target efisiensi energi dalam skenario penyediaan tenaga listriknya. Hal ini penting, karena integrasi antara efisiensi energi dan listrik energi terbarukan merupakan kunci untuk mengurangi beban puncak kebutuhan listrik.

Dalam praktiknya, Indonesia berpengalaman menggabungkan efisiensi energi dan energi terbarukan sebagai bagian dari rencana pembangunannya, misalnya untuk mencapai 100% elektrifikasi di seluruh nusantara. Program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi yang diluncurkan pada tahun 2017 merupakan bagian dari program pra-elektrifikasi di daerah dengan akses energi rendah. Setiap rumah tangga yang mengikuti program ini menerima empat lampu LED, berikut modul panel surya 20 watt-peak dan baterai litium yang mampu bertahan selama 60 jam. Meskipun relatif kecil dalam hal ukuran (program ini ditujukan untuk menjangkau 175.782 rumah tangga di 15 provinsi pada tahun 2018) dan skala (pasokan listrik), program ini menggarisbawahi pentingnya integrasi energi terbarukan dengan peralatan listrik hemat energi untuk memastikan akses energi yang aman dan andal. Bahkan, jika lampu pijar dengan output cahaya yang setara digunakan, rumah tangga akan membutuhkan enam hingga delapan modul panel surya tambahan dengan daya watt-peak yang sama (IEA, 2018[4]).

Inisiatif serupa yang disebut TaLis (Tabung Listrik) diluncurkan oleh Universitas Indonesia pada 2018 dengan menyediakan baterai portabel ringan dengan listrik 630 watt-jam untuk daerah pedesaan yang belum terlayani. Mengingat relatif kecilnya kapasitas baterai tersebut, penggunaan penerangan dan peralatan hemat energi menjadi sangat menentukan dalam hal seberapa sering rumah tangga perlu melakukan pengisian ulang.

Seiring dengan meningkatnya pangsa listrik energi terbarukan dalam bauran pembangkit listrik di Indonesia, perencanaan terpadu energi terbarukan dan kebijakan efisiensi energi menjadi sangat penting untuk memenuhi pasokan dan kebutuhan, yang merupakan tantangan sekaligus peluang dalam penetrasi listrik terbarukan di tingkat yang lebih tinggi (IEA, 2020[39]). Misalnya, penghematan listrik di satu daerah dapat meminimalkan kebutuhan kapasitas pembangkitan listrik tambahan, yang berpotensi memungkinkan pembangunan pembangkit listrik di tempat lain di daerah atau kawasan dengan akses listrik terbatas. Kombinasi antara informasi digital real-time dan sistem ketenagalistrikan juga dapat memberikan manfaat berupa peningkatan desentralisasi pasokan listrik.

Perencanaan dan kebijakan terintegrasi dapat memanfaatkan peluang yang muncul seperti model perdagangan listrik peer-to-peer yang dapat mengatasi masalah keseimbangan dan kejenuhan dalam sistem ketenagalistrikan, membuat sistem semakin fleksibel dan menyediakan layanan tambahan (IRENA, 2020[40]). Saat ini, tidak terdapat kebijakan smart grid atau pengelolaan sisi permintaan (demand-side management/DSM) di Indonesia, walaupun RUPTL PLN memiliki rencana untuk mengembangkan smart grid dan percontohan DSM di wilayah Jawa-Bali (PLN, 2019[29]). Selain itu, PLN meluncurkan beberapa program jaringan pintar (smart grid) pada tahun 2020, seperti pembangunan infrastruktur metering lanjutan, gardu induk digital, dan proyek percontohan komunitas pintar (smart community pilot project) di Karawang, luar kota Jakarta.

Indonesia harus mempertimbangkan peluang untuk menyelaraskan kebijakan dan peraturan efisiensi energi dan energi terbarukan untuk membantu meningkatkan fleksibilitas dan biaya sistem energi selanjutnya. Peningkatan kinerja energi dan respon di sisi permintaan juga akan semakin meningkatkan pemanfaatan pembangkitan listrik yang terdistribusi. Untuk memastikan hal tersebut terjadi secara terintegrasi, diperlukan sebuah portofolio kebijakan yang memberikan insentif pada partisipasi dan penghargaan pada fleksibilitas (misalnya, melalui sinyal harga dalam sebuah skema tarif listrik yang dinamis), yang mungkin memerlukan modifikasi terhadap peraturan yang ada (misalnya, skema net-metering saat ini).

Referensi

[26] AEPCA (2000), A Best Practice Guide to Energy Performance Contracts: reducing operating costs through guaranteed outcomes, Canberra, https://www.eec.org.au/uploads/images/NEEC/Information%20Tools%20and%20Resources/Best%20Practice%20guide%20to%20EPC.pdf (accessed on 15 December 2020).

[22] Anh, T. (2020), “ESCO Vietnam has potential but faces challenges”, Vietnam Investment Review, https://www.vir.com.vn/esco-vietnam-has-potential-but-faces-challenges-80370.html (accessed on 15 December 2020).

[17] AntiCSS (2019), Anti-circumvention of standards for better market surveillance, https://www.anti-circumvention.eu/about-project/project-introduction (accessed on 17 December 2020).

[37] Attwood, C. et al. (2017), Financial Supports for Coal and Renewables in Indonesia, Global Subsidies Initiative, International Institute for Sustainable Development, https://www.iisd.org/system/files/publications/financial-supports-coal-renewables-indonesia.pdf (accessed on 16 December 2020).

[23] BEE (2019), Programmes: ESCOs, Bureau of Energy Efficiency, https://beeindia.gov.in/content/escos-0#:~:text=Currently%2C%20127%20ESCOs%20are%20empaneled,tapped%20by%20ESCOs%20so%20far. (accessed on 15 December 2020).

[36] Bridle, R. et al. (2018), Missing the 23 Per Cent Target: Roadblocks to the development of renewable energy in Indonesia, Global Subsidies Initiative, International Institute for Sustainable Development (IISD), https://www.iisd.org/sites/default/files/publications/roadblocks-indonesia-renewable-energy.pdf (accessed on 15 December 2020).

[31] Burke, P. et al. (2019), Overcoming barriers to solar and wind energy adoption in two Asian giants: India and Indonesia.

[1] CLASP (2020), Indonesia Residential End Use Survey, Collaborative Labeling and Appliance Standards Program (CLASP), Washington, D.C., https://clasp.ngo/publications/indonesia-residential-end-use-survey (accessed on 15 December 2020).

[15] Energy Rating (2016), Whitegoods Efficiency Trends 1993-2014, Equipment Energy Efficiency (E3) programme, Australian Government, https://www.energyrating.gov.au/document/whitegoods-efficiency-trends-1993-2014 (accessed on 17 December 2020).

[34] Hadiputranto, H. (2019), PLN re-opens prequalification process for Indonesian renewable projects, Global Business Guide Indonesia, http://www.gbgindonesia.com/en/main/legal_updates/pln_re_opens_prequalification_process_for_indonesian_renewable_projects.php (accessed on 15 December 2020).

[6] Hakim, H. (2015), “Kementerian PUPR Dorong Pemda Gencarkan Bangunan Hijau (The PUPR Ministry Encourages Local Governments to Increase Green Buildings)”, Bisnis Indonesia, https://ekonomi.bisnis.com/read/20150507/47/430566/kementerian-pupr-dorong-pemda-gencarkan-bangunan-hijau (accessed on 15 December 2020).

[25] Hermawan, J., I. Hermawan and J. Bahar (2015), “New PPP Regulations: PR No. 38/2015”, Mondaq, https://www.mondaq.com/government-contracts-procurement-ppp/456354/new-ppp-regulations-pr-no-382015 (accessed on 15 December 2020).

[27] Hofer, K., D. Limaye and J. Singh (2016), Fostering the Development of ESCO markets for energy efficiency, Live Wire 2016/54, World Bank Group, https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/23949 (accessed on 15 December 2020).

[33] IDFI (2018), Recommendations for the Public Procurement System of the Republic of Indonesia, Institute for Development of Freedom of Information, https://openupcontracting.org/assets/2019/04/Indonesia-Brief-on-Public-Procurement.pdf (accessed on 15 December 2020).

[10] IEA (2020), Data & Statistics, Electricity Information, International Energy Agency, https://www.iea.org/data-and-statistics?country=INDONESIA&fuel=Electricity%20and%20heat&indicator=ElecGenByFuel (accessed on 15 December 2020).

[39] IEA (2020), Power systems in transition: Challenges and opportunities ahead for electricity security, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/4ad57c0e-en.

[11] IEA (2019), Energy Efficiency 2019, International Energy Agency, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/ef14df7a-en.

[19] IEA (2019), Perspectives for the Clean Energy Transition: The Critical Role of Buildings, International Energy Acency, Paris, https://webstore.iea.org/perspectives-for-the-clean-energy-transition (accessed on 16 December 2020).

[4] IEA (2018), Energy Efficiency 2018: Analysis and outlooks to 2040, International Energy Agency, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/9789264024304-en.

[35] IEA (2018), Renewables 2018: Analysis and Forecasts to 2023, International Energy Agency, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/re_mar-2018-en.

[9] IEA (2017), Energy Efficiency 2017, International Energy Agency, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/9789264284234-en.

[3] IEA (2010), Policy Pathway: Monitoring, Verification and Enforcement, International Energy AGency, Paris, https://www.iea.org/reports/policy-pathway-monitoring-verification-and-enforcement-2010 (accessed on 15 December 2020).

[20] IEA-UNEP (2018), 2018 Global Status Report: Towards a zero-emission, efficient and resilient buildings and construction sector, International Energy Agency, United Nations Environment Programme, https://webstore.iea.org/2018-global-status-report (accessed on 17 December 2020).

[13] IESR (2021), Indonesia Energy Transition Outlook 2021 - Tracking Progress of Energy Transition in Indonesia, https://iesr.or.id/pustaka/indonesia-energy-transition-outlook-2021 (accessed on 2 March 2021).

[40] IRENA (2020), Peer-to-peer electricity trading: innovation landscape brief, International Renewable Energy Agency, Abu Dhabi, https://www.irena.org/-/media/Files/IRENA/Agency/Publication/2020/Jul/IRENA_Peer-to-peer_trading_2020.pdf?la=en&hash=D3E25A5BBA6FAC15B9C193F64CA3C8CBFE3F6F41 (accessed on 15 December 2020).

[5] ISO (2020), ISO survey of management system standard certifications, International Organisation for Standardisation, https://isotc.iso.org/livelink/livelink?func=ll&objId=18808772&objAction=browse&viewType=1 (accessed on 15 December 2020).

[14] Letschert, V. et al. (2017), Baseline Evaluation and Policy Implications for Air Conditioners in Indonesia, Lawrence Berkeley National Laboratory, https://eta.lbl.gov/publications/baseline-evaluation-policy (accessed on 15 December 2020).

[18] MEMR (2020), Data & Information of Energy Conservation 2019, 3rd Edition, Directorate of Energy Conservation, Ministry of Energy and Mineral Resources, http://www.ebtke.esdm.go.id (accessed on 15 December 2020).

[38] MEMR (2020), More Competitive Price, Key to Indonesia’s One Million Rooftop Solar Systems, Ministry of Energy and Mineral Resources, https://www.esdm.go.id/en/media-center/news-archives/harga-makin-kompetitif-pemerintah-optimis-wujudkan-satu-juta-surya-atap (accessed on 16 December 2020).

[2] MEMR (2020), Penerapan SKEM Label Hemat Energi Pada Masa ’Normal Baru’ (Application of Energy Saving Label SKEM in the ’New Normal’ Period), Directorate of Energy Conservation, Ministry of Energy and Mineral Resources, https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/direktorat-jenderal-ebtke/penerapan-skem-label-hemat-energi-pada-masa-normal-baru (accessed on 15 December 2020).

[12] MEMR (2019), Data & Information of Energy Conservation 2018, 2nd Edition, Directorate of Energy Conservation, Ministry of Energy and Mineral Resources, https://drive.esdm.go.id//wl/?id=cwFohj0AaWgwIWQMNr5Yu68d8ptxTg4o (accessed on 15 December 2020).

[28] MEMR (2017), Investment Opportunity of Renewable Power Generation in Indonesia, Directorate General of New, Renewable Energy and Energy Conservation; Ministry of Energy and Mineral Resources, https://fr.slideshare.net/AbdurrahmanArum/investment-opportunity-renewable-power-generation-in-indonesia-2017 (accessed on 15 December 2020).

[16] OPSS (2019), Regulations: ecodesign of energy-consuming products, Office for Product Safety & Standards, United Kingdom, https://www.gov.uk/guidance/placing-energy-related-products-on-the-uk-market (accessed on 17 December 2020).

[8] Pahnael, J., A. Soekiman and M. Wimala (2020), “Penerapan Kebijakan Insentif Green Building di Kota Bandung (Implementation of Green Building Incentive Policies in Bandung City)”, Jurnal Infrastruktur, Vol. 6/1, pp. 1-13, https://doi.org/10.35814/infrastruktur.v6i1.1315.

[29] PLN (2019), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN 2019 - 2028 (PT PLN Power Supply Business Plan 2019-2028), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) , Jakarta, https://gatrik.esdm.go.id//assets/uploads/download_index/files/5b16d-kepmen-esdm-no.-39-k-20-mem-2019-tentang-pengesahan-ruptl-pt-pln-2019-2028.pdf (accessed on 16 December 2020).

[30] PLN (2017), General Terms in IPP Business in PLN, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) , Jakarta, https://web.pln.co.id/statics/uploads/2017/05/Buku-IPP.pdf (accessed on 16 December 2020).

[32] PwC (2018), Power In Indonesia - Investment and Taxation Guide, http://www.pwc.com/id (accessed on 19 July 2019).

[7] Rahman, R. (2019), “Poor customer awareness holds back green building projects - Business - The Jakarta Post”, The Jakarta Post, https://www.thejakartapost.com/news/2019/02/20/poor-customer-awareness-holds-back-green-building-projects.html (accessed on 15 December 2020).

[24] STEC (2020), List of Registered Energy Service Company (ESCO), Suruhanjaya Tenaga Energy Commission, https://www.st.gov.my/web/consumer/esco (accessed on 15 December 2020).

[21] Tumiwa, F. et al. (2019), Industrial Energy Accelerator: Indonesia Diagnostic, Industrial Energy Accelerator, https://www.industrialenergyaccelerator.org/wp-content/uploads/FINAL-Indonesia-Diagnostic_WEB.pdf (accessed on 15 December 2020).

Catatan

← 1. Undang-Undang Energi No. 30/2007

← 2. Peraturan Pemerintah No. 79/2014

← 3. Peraturan Presiden No. 22/2017

← 4. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi: https://www.iea-4e.org/.

← 5. https://united4efficiency.org/

← 6. http://www.aseanshine.org/

← 7. Peraturan Menteri Perindustrian No. 51/2015 menjelaskan batasan jumlah energi yang digunakan untuk memproduksi satu ton produk; bubur kertas (pulp) dan kertas (514/M-IND/Kep/12/2015), tekstil (515/M-IND/Kep/12/2015), semen (512/M-IND/Kep/12/2015) dan keramik (513/M-IND/Kep/12/2015)

← 8. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi https://eeglobalalliance.org/three-percent-club.

← 9. Peraturan Pemerintah No. 70/2009

← 10. Peraturan Menteri ESDM No. 14/2012

← 11. SNI ISO 50015/2014

← 12. Standar Efisiensi Energi Nasional untuk Bangunan dan standarnya untuk: selubung bangunan (SNI 03-6389/2011); sistem pendingin udara (SNI 03-6390/2011); sistem penerangan (SNI 03-6197/2011) dan prosedur audit energi (SNI 03-6196/2011)

← 13. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 02/PRT/M/2015

← 14. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi https://edgebuildings.com/.

← 15. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi: http://gbcindonesia.org/EN/download/doc_details/22-choosing-the-right-green-building-materials?tmpl=component

← 16. Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 38/2012

← 17. Peraturan Menteri ESDM No. 06/2011

← 18. Peraturan Menteri ESDM No. 18/2014

← 19. Peraturan Menteri ESDM No. 07/2015

← 20. Peraturan Menteri ESDM No. 57/2017

← 21. SNI 8476/2018

← 22. Peraturan Menteri Perindustrian No. 13/2015

← 23. Peraturan Menteri Perindustrian No. 13/2016

← 24. Peraturan Menteri ESDM No. 01/2016

← 25. https://asean.org/?static_post=agreement-on-the-asean-harmonized-electrical-and-electronic-equipment-eee-regulatory-regime-kuala-lumpur-9-december-2005

← 26. SNI ISO 50006/2014

← 27. SNI ISO 50002/2014

← 28. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi: https://beeindia.gov.in/content/iame.

← 29. Penghargaan Efisiensi Energi Nasional

← 30. https://drive.esdm.go.id//wl/?id=cwFohj0AaWgwIWQMNr5Yu68d8ptxTg4o

← 31. Peraturan Menteri ESDM No. 14/2016

← 32. Peraturan Presiden No. 38/2015

← 33. Undang-Undang Ketenagalistrikan No. 30/2009

← 34. Peraturan Pemerintah No. 14/2012

← 35. Peraturan Menteri ESDM No. 13/2013

← 36. Peraturan Menteri ESDM No. 12/2016

← 37. Peraturan Menteri ESDM No. 07/2016

← 38. Keputusan No. 111/PUU-XIII/2015

← 39. Peraturan Menteri ESDM No. 01/2015

← 40. Peraturan Menteri ESDM No. 01/2006

← 41. Keputusan No. 0022P/DIR/2018

← 42. Peraturan Pemerintah No. 14/2012

← 43. Peraturan Menteri ESDM No. 10/2017

← 44. Peraturan Menteri ESDM No. 03/2015

← 45. Peraturan Presiden No. 16/2018

← 46. Peraturan Presiden No. 54/2010

← 47. Peraturan Menteri ESDM No. 01/2015

← 48. Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017

← 49. Peraturan Menteri ESDM No. 19/2016

← 50. Peraturan Menteri ESDM No. 9/2018

← 51. Peraturan Menteri ESDM No. 49/2017

← 52. Peraturan Menteri ESDM No. 10/2018

← 53. Peraturan Menteri ESDM No. 04/2020

← 54. Peraturan Menteri ESDM No. 48/2018

Metadata, Hukum dan Hak

Dokumen ini, serta data dan peta apa pun yang disertakan di sini, tidak mengurangi status atau kedaulatan atas wilayah mana pun, terhadap penetapan batas dan batas internasional, dan terhadap nama wilayah, kota, atau wilayah mana pun. Informasi yang diambil dari publikasi dapat dikenakan penafian tambahan, yang ditetapkan dalam versi lengkap publikasi, yang tersedia di tautan yang disediakan.

© OECD 2021

Penggunaan karya ini, baik digital atau cetak, diatur oleh Syarat dan Ketentuan yang dapat ditemukan di http://www.oecd.org/termsandconditions.