1. Pendahuluan dan tren terkini dalam pembiayaan dan investasi energi bersih

Tinjauan OECD terhadap Kebijakan Pembiayaan dan Investasi Energi Bersih Indonesia ini berisi penilaian komprehensif terhadap regulasi dan kebijakan, perkembangan dan peluang peningkatan pembiayaan dan investasi energi bersih Indonesia dalam berbagai bidang kebijakan penting yang dibahas dalam tujuh bab. Analisis dalam Tinjauan ini disusun berdasarkan pengalaman ekstensif OECD dalam membuat tinjauan serupa seperti Tinjauan Kebijakan Pertumbuhan Hijau di Indonesia 2019 (OECD, 2019[1]), Tinjauan Kebijakan Investasi Indonesia 2020 (OECD, 2020[2]) dan Survei Ekonomi 2021 (OECD, 2021[3]), serta kerangka lengkap kerja sama OECD tentang keuangan berkelanjutan dan investasi (lihat Kotak 1.1). Laporan ini mencerminkan perkembangan terbaru yang terjadi sebelum 16 April 2021.

Dengan melibatkan pemangku kepentingan secara intensif, OECD mengadakan konsultasi dan wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan (misalnya, lembaga pemerintah, perbankan, pelaku usaha sektor energi bersih, dan organisasi internasional) pada 2019-20 untuk menyampaikan perkembangan tentang Penilaian dan Rekomendasi Tinjauan ini. Virtual review mission diselenggarakan sepanjang Oktober-November 2020, terdiri atas lima diskusi kelompok terarah (focused group discussion) dalam berbagai bidang penting (Pengusahaan Tenaga Listrik oleh Perusahaan; Pengembangan Keterampilan dan Kapasitas; Investasi Energi Terbarukan di Wilayah Timur Indonesia; Pembiayaan Efisiensi Energi; dan Fasilitas Keuangan Berkelanjutan) dan tiga pertemuan konsultasi dengan perwakilan negara OECD di Indonesia, lembaga keuangan dan pelaku usaha sektor energi bersih.

Sekitar 20 pakar internasional memberikan masukan dalam format virtual serta melibatkan juga sekitar 650 orang yang terdiri dari pejabat pemerintah, pengembang proyek, lembaga keuangan, duta besar, dan perwakilan negara OECD di Indonesia. Selain konsultasi, Kuesioner Kebijakan (Policy Questionnaire) komprehensif telah diselesaikan dan dikembalikan oleh 10 instansi pemerintah dan PLN untuk melengkapi informasi dalam dokumen Tinjauan ini.

Selama satu setengah dekade terakhir, kondisi makroekonomi Indonesia menunjukkan kekuatannya. Walaupun mengalami perlambatan sejak akhir siklus komoditas 2003-11, Produk Domestik Bruto (PDB) riil terus mengalami pertumbuhan rata-rata 5,5% per tahun selama 2005-19 – angka pertumbuhan yang setara dengan Filipina dan lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand. Pertumbuhan ini meningkatkan PDB per kapita Indonesia hampir dua kali lipat selama periode tersebut dan menempatkannya di posisi tengah di antara negara-negara lain di kawasan (misalnya, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam). Dengan capaian 33% dari PDB, tingkat investasi telah mendorong pertumbuhan PDB selama beberapa dekade terakhir dan cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan (lihat Gambar 1.1).

Rencana infrastruktur pemerintahan yang ambisius, upaya untuk memperbaiki lingkungan usaha dan peningkatan harga komoditas global (walaupun berfluktuasi) menjadi pendorong utama pertumbuhan investasi dalam negeri.

Namun demikian, perekonomian Indonesia mengalami pukulan berat akibat pandemi global COVID-19 sehingga menyebabkan perekonomian mengalami resesi pada 2020 (-2,43% per tahun berdasarkan data OECD), untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan Asia. Pandemi ini menimbulkan dampak yang dalam, menyebabkan lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan serta menekan investasi dan konsumsi dalam negeri di tengah meningkatnya ketidakpastian. Walaupun perekonomian perlahan-lahan mengalami pemulihan, seiring dengan dibukanya kembali perekonomian dalam negeri dan global secara bertahap dan peluncuran paket stimulus COVID oleh pemerintah Indonesia, konsekuensi sosial-ekonomi dari pandemi kemungkinan akan bertahan lama. Pada akhir tahun 2021, OECD memproyeksikan angka PDB 10% lebih rendah dari yang seharusnya berdasarkan skenario bisnis seperti biasa (business-as-usual) (OECD, 2021[3]).

Arus masuk penanaman modal asing (PMA) langsung (foreign direct investment/FDI) kurang berkontribusi pada keseluruhan angka investasi di Indonesia, tetapi berpotensi mendukung pemulihan perekonomian Indonesia. Sebagian besar PMA dapat mendatangkan pembiayaan yang sangat dibutuhkan, teknologi modern dan praktik-praktik organisasi, akses ke pasar global, dan peningkatan kondisi kerja dan lingkungan (OECD, 2021[3]). Meskipun terjadi peningkatan selama dua dekade terakhir, arus masuk PMA mengalami penurunan sejak tahun 2016 (baik secara absolut maupun relatif) akibat meningkatnya ketegangan perdagangan dan proteksionisme, perlambatan ekonomi di Cina, serta pengetatan kebijakan moneter AS yang menyebabkan arus keluar modal dalam jumlah signifikan selama tahun 2018. Kunci utama untuk meningkatkan PMA adalah dengan memperkuat kondisi yang mendukung (lihat (OECD, 2020[2]) untuk informasi lebih lanjut tentang tren-tren PMA; lihat Bab 4).

Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk perkembangan ekonominya. Setelah gagal memenuhi target pertumbuhan tahunan PDB sebesar 7% selama tahun 2015-19, Indonesia memperbarui sasaran pembangunan ekonominya dengan menetapkan target pertumbuhan PDB baru yang berkisar antara 5,2-6,2% per tahun selama 2020-24. Walaupun angka ini lebih realistis, pandemi COVID yang saat ini melanda dunia mungkin menyebabkan target ini sulit dicapai. Indonesia telah menetapkan “Visi Indonesia 2045” dengan sasaran menempatkan Indonesia di antara lima perekonomian terbesar di dunia pada tahun 2045 (dari posisi ke-16 pada tahun 2019).

Indonesia telah mengalami kemajuan luar biasa dalam upaya meningkatkan penghidupan dan akses ke tenaga listrik untuk penduduknya. Berkat PDB per kapita yang meningkat nyaris dua kali lipat, Indonesia berhasil memangkas angka kemiskinan dua kali lipat sejak awal milenium dan menyaksikan munculnya kelas menengah yang dinamis yang saat ini berjumlah sekitar 50 juta orang (dari total 264 juta penduduk). Peningkatan ini diikuti oleh kenaikan akses ke tenaga listrik yang cukup besar, dengan angka elektrifikasi yang melonjak tajam dari hanya 53% pada tahun 2000 menjadi 99,20% pada tahun 2020, berkat tersedianya panel surya atap, program elektrifikasi serta program percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan nasional (lihat Bab 2). Namun demikian, rasio ini tidak tersebar secara merata di seluruh wilayah dan sekitar 10 juta penduduk belum memiliki akses listrik (OECD, 2019[1]). Pemadaman listrik juga masih sering terjadi di wilayah Indonesia (lihat Gambar 1.2).

Terlepas dari kemajuan ini, masih terdapat kesenjangan yang signifikan di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Pulau Jawa yang dihuni sekitar separuh dari penduduk Indonesia, 70% dari basis manufaktur Indonesia, dan menghasilkan hampir 60% dari PDB nasional. Selain itu, tingkat akses listrik serta pembangunan infrastruktur di pulau Jawa merupakan satu di antara yang tertinggi di Indonesia. Sebaliknya, kepulauan di sebelah timur Indonesia (misalnya, Nusa Tenggara Timur, Maluku atau Papua) dihuni oleh penduduk yang jauh lebih sedikit dan secara ekonomi kurang berkembang. Kondisi ini menyebabkan tingkat akses listrik yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pulau-pulau lain dengan kebutuhan infrastruktur yang luar biasa tinggi, yang pada gilirannya, meningkatkan biaya logistik (Oxford Business Group, 2018[4]).

Secara keseluruhan, perekonomian Indonesia didominasi oleh sektor-sektor dengan intensitas energi yang rendah. Sektor jasa dengan intensitas energi rendah menyumbang sekitar dua pertiga nilai tambah dan mengalami pertumbuhan yang stabil (BPS, 2021[5]). Pada tahun 2017, sektor pariwisata menyumbang sekitar 4% dari PDB dan, walaupun mengalami dampak terparah akibat krisis COVID-19, sektor ini diharapkan akan berekspansi dalam jangka panjang mengingat Indonesia berencana menciptakan “10 Bali baru1”. Upaya ini akan membuka peluang pasar energi bersih, khususnya di sektor perhotelan dan pariwisata (OECD, 2020[6]). Demikian pula sektor manufaktur dalam negeri, yang menyumbang kurang lebih 20% dari PDB (turun dari sekitar 30% pada awal tahun 2000an), secara keseluruhan tetap didominasi oleh subsektor dengan intensitas energi yang rendah – misalnya, mesin dan peralatan transportasi; makanan, minuman dan tembakau (BPS, 2021[5]). Akibatnya, intensitas energi di Indonesia (dalam hal konsumsi dan pasokan energi berdasarkan PDB dan per-kapita) jauh lebih rendah dibandingkan dengan Thailand dan Vietnam, serta negara-negara ASEAN secara keseluruhan.

Meskipun demikian, permintaan energi Indonesia (dalam hal total konsumsi final/total final consumption, TFC) masih mewakili sepertiga dari TFC kawasan (ASEAN) dan mengalami pertumbuhan yang pesat selama dua dekade terakhir, dipicu oleh lonjakan urbanisasi dan pertumbuhan populasi dan perekonomian. Permintaan tenaga listrik merupakan pemicu utama dalam pertumbuhan permintaan energi. Selama tahun 2005-18, permintaan tenaga listrik mencapai dua kali lipat dan dapat meningkat dua kali lipat lagi pada tahun 2030 berdasarkan skenario bisnis seperti biasa (business-as-usual/BaU). Dalam skenario tersebut, tenaga listrik bahkan akan menggeser kedudukan minyak sebagai sumber TFC terbesar pada tahun 2050 (DEN, 2019[7]). Untuk memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat hingga tahun 2030, perlu dilakukan penambahan kapasitas dari proyek Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar sekitar 7,5 GW setiap tahunnya (sepertiganya akan bersumber dari energi terbarukan), walaupun angka ini bisa jadi merupakan perkiraan yang terlalu tinggi (lihat Bab 2) (MEMR, 2017[8]).

Peningkatan efisiensi energi menjadi sangat penting untuk merasionalisasi konsumsi energi yang meningkat pesat, demikian pula rencana perluasan kapasitas pembangkit listrik. Langkah-langkah efisiensi energi di sektor bangunan (meliputi peralatan elektronik sektor rumah tangga dan komersial) menjadi sangat penting mengingat sektor ini menyumbang dua pertiga dari konsumsi listrik (lihat Bab 3). Efisiensi energi juga penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir dan menjadi semakin penting mengingat konsumsi energi telah menghasilkan emisi terbesar pada tahun 2017 (sebagian besar berasal dari pembangkit listrik dan industri yang didominasi bahan bakar fosil) dan telah mengalami peningkatan dua kali lipat sejak tahun 2000 (OECD, 2019[1]; Ministry of Environment and Forestry, 2019[9]).

Pada tahun 2018, penggunaan energi sektor rumah tangga merupakan sumber TFC terbesar, walaupun di dalamnya menyertakan penggunaan energi biomassa tradisional (terutama biomassa untuk memasak) (lihat Gambar 1.3 & Gambar 1.4). Antara tahun 2005-18, konsumsi energi rumah tangga mengalami penurunan sebesar kurang lebih 37%, sebagian berkat efisiensi energi yang signifikan sebagai dampak dari program pemerintah menuju transisi dari biomassa dan minyak tanah menjadi LPG untuk memasak – karena 77% dari konsumsi energi rumah tangga digunakan untuk keperluan memasak (IEA, 2017[10]; DEN, 2019[7]). Selain itu, peralihan dari penggunaan bahan bakar lain menjadi listrik (yang dipicu oleh peningkatan laju elektrifikasi) telah berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi, sesuai dengan inisiatif pemerintah agar masyarakat beralih ke peralatan yang lebih efisien, seperti lampu compact fluorescent dan LED.

Permintaan listrik dari sektor rumah tangga mengalami peningkatan akibat pertumbuhan jumlah penduduk, pertambahan jumlah hunian, dan peningkatan kepemilikan peralatan elektronik rumah tangga. Sementara itu, elektrifikasi dan meningkatnya permintaan akan perkakas dan peralatan elektronik, seperti pendingin udara, akan semakin memengaruhi kurva beban listrik (misalnya, pada malam hari), sebagaimana halnya di negara-negara lain. Hal ini sangat mungkin terjadi di pusat perkotaan yang berkembang pesat di Indonesia, di mana daya beli rumah tangga dan konsumsi energi biasanya tinggi tetapi tidak diikuti dengan keberadaan pembangkit listrik di lokasi atau di area tersebut.

Penggunaan energi di sektor industri mengalami pertumbuhan lebih rendah dibandingkan PDB sehingga mengakibatkan perbaikan intensitas energi (berkurang) di sektor tersebut. Pertumbuhan permintaan energi dari sektor industri dipicu oleh subsektor logam nonbesi, bubur kertas dan kertas, bahan kimia dan petrokimia, besi dan baja dan semen (mineral nonlogam). Walaupun kontribusinya relatif rendah terhadap nilai tambah sektor manufaktur, subsektor ini menyumbang tiga perempat dari total penggunaan energi industri (lihat Gambar 1.3). Mengingat rencana untuk menghidupkan kembali basis manufaktur Indonesia, konsumsi energi sektor industri diproyeksikan akan terus meningkat bahkan melebihi sektor transportasi pada tahun 2030 (DEN, 2019[7]).

Data nasional menunjukkan penurunan intensitas energi (membaik) selama tahun 2015-17, melampaui target penurunan tahunan Indonesia sebesar 1% hingga tahun 2025 (dengan 2015 sebagai tahun dasar). Namun demikian, selama tahun 2017-19, tren tersebut bergerak ke arah sebaliknya, sebagian akibat peningkatan intensitas di sektor transportasi, yang sebagian besar gagal mencapai target penurunannya (IESR, 2021[11]). Dengan demikian, Indonesia harus tetap memperkuat upaya efisiensi energi di semua sektor agar tetap berada di jalur yang tepat untuk mencapai target efisiensi energi. Pemanfaatan potensi penurunan intensitas energi perkotaan akan menentukan keberhasilan pencapaian target efisiensi energi, karena lebih dari separuh penduduk dan sebagian besar kegiatan ekonomi terpusat di perkotaan, dengan 20 kota terbesar di Indonesia menghasilkan hampir separuh dari PDB nasional (IEA, 2016[12]). Beberapa kota menjadi yang terdepan—dengan kota Jakarta sebagai contoh—karena komitmennya untuk mengurangi konsumsi energi sampai dengan 30% pada tahun 2030 dibandingkan dengan BaU (OECD, 2019[1]).

Sistem ketenagalistrikan di Indonesia masih tetap didominasi oleh bahan bakar fosil, terutama batu bara. Tidak mengherankan, karena Indonesia memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia (lihat Gambar 1.5). Pada tahun 2019, sebagian besar kapasitas pembangkit listrik Indonesia (sekitar 67 GW) berasal dari batu bara (50%), gas (sekitar 30%) dan diesel (sekitar 7%). Penambahan kapasitas listrik berbahan bakar fosil meningkat pesat tahun 2005-19, dengan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan gas yang hanya mencapai dua kali lipat, sementara BBM (Bahan Bakar Minyak) meningkat kurang lebih 50%. Jika batu bara dan gas mewakili porsi terbesar kapasitas terpasang nasional (dan sebagian besar wilayah barat Indonesia), maka BBM mewakili porsi terbesar kapasitas listrik di Indonesia bagian timur serta pulau Kalimantan (lihat Gambar 1.6). Hal ini disebabkan tingginya penggunaan genset listrik di kawasan timur Indonesia untuk mengatasi keterbatasan akses ke jaringan listrik.

Pembangkit listrik berbahan bakar fosil dalam jumlah lebih besar kemungkinan akan beroperasi beberapa tahun ke depan, untuk memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat. Dari 56,6 GW kapasitas tambahan yang direncanakan untuk pengembangan antara tahun 2019-28, sebagian besar akan bersumber dari batu bara (sekitar setengah) dan gas (22%), sementara hanya sepertiga akan berasal dari pembangkit listrik tenaga hidro berskala besar (17%) atau energi terbarukan tenaga hidro berskala kecil (13%) (PLN, 2019[13]). Jika semua pembangkit listrik tenaga batu bara yang telah direncanakan tersebut beroperasi pada tahun 2028, maka proyeksi emisinya akan menyimpang dari jalur di bawah 2°C semenjak awal tahun 2022 dan tingkat emisinya akan menjadi dua kali lipat pada tahun 2028 (IESR, 2021[11]).

Mengingat rencana untuk terus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar fosil, Indonesia menghadapi risiko tinggi berupa terkuncinya emisi dan terlantarnya aset. Terlepas dari upaya memodernisasi pembangkit yang ada (walaupun relatif masih muda), sebagian besar pembangkit listrik batu bara tetap menggunakan dan berinvestasi dalam teknologi sub-critical yang tidak efisien. Penangkapan, penggunaan dan penyimpanan karbon (carbon capture, use and storage/CCUS) masih berada di tahap awal tanpa adanya pengembangan proyek CCUS komersial hingga saat ini (Oxford Business Group, 2018[4]; IEA, 2020[14]). Akibatnya, sistem pembangkitan listrik di Indonesia menjadi salah satu sistem yang paling intensif karbon di dunia dan menyumbang emisi GRK yang besar. Pembangkit listrik batu bara juga menjadi sumber utama polusi udara di Indonesia dan dianggap penyebab langsung sejumlah penyakit tidak menular (Sanchez and Luan, 2018[15]; OECD, 2019[1]). Untuk menghadapi isu-isu tersebut, Indonesia perlu segera membatasi kapasitas pembangkit listrik batu baranya hingga jumlah minimum, meningkatkan standar pembangkit listrik batu bara yang ada dan mempercepat penonaktifan pembangkit-pembangkit tersebut (tepat sebelum berakhirnya masa pakai 30 tahun) untuk mencapai target penurunan emisi berdasarkan Perjanjian Paris dan meningkatkan kualitas udara (IESR, 2021[11]). Revisi rencana peningkatan kapasitas pembangkit listrik batu bara juga penting untuk mengurangi risiko terlantarnya aset di mana berdasarkan skenario kepatuhan terhadap Perjanjian Paris, pemilik pembangkit listrik batu bara di Indonesia berisiko kehilangan hampir USD 35 miliar yang berpotensi terlantar (Carbon Tracker, 2018[16]).

Terlepas dari peningkatannya yang meyakinkan selama satu setengah dekade terakhir, sebagian besar potensi energi terbarukan di Indonesia belum dimanfaatkan dengan baik (lihat Gambar 1.7). Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang luar biasa – mulai dari 18 GW energi laut hingga 208 GW energi surya. Potensi panas bumi dan tenaga hidro Indonesia tertinggi dunia. Sementara potensi ini bersifat teknis dan tidak seluruhnya layak secara ekonomi, hingga saat ini Indonesia baru mengeksploitasi sebagian kecil saja dari potensi tersebut. Sejak 2019, Indonesia telah memanfaatkan kurang dari 2% dari total potensi energi terbarukan, yang mampu menghasilkan pembangkit listrik tenaga hidro berskala kecil yang menyumbang 3,5% dari total kapasitas terpasang dan kurang dari 5% dari total pembangkitan listrik tahun 2018 (lihat Gambar 1.7). Walaupun penyimpanan daya listrik dapat berperan dalam mendukung peningkatan integrasi energi terbarukan dan potensinya yang cukup besar di Indonesia (misalnya melalui pompa penyimpanan hidro atau hidrogen hijau), namun saat ini statusnya masih dalam tahap awal pengembangan.

Seperti disebutkan sebelumnya, sejak 2005, kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan Indonesia mengalami peningkatan, tetapi dengan kecepatan yang relatif lambat. Terdapat penambahan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan (nonhidro) sekitar 2 GW selama tahun 2005-19 (lihat Gambar 1.5), (lihat Gambar 1.5), dibandingkan dengan penambahan sebesar 8 GW di Thailand atau 5.5 GW di Vietnam selama jangka waktu yang sama (IRENA, 2021[17]). Peningkatan ini sebagian besar berasal dari panas bumi (hampir 1 GW), yang dipicu oleh pembangunan (atau perluasan) proyek-proyek berskala besar dan terbesar di dunia, yang sebagian besar terletak di pulau Sumatera dan Jawa. Kapasitas terpasang pembangkit mini hidro dan mikro hidro (yaitu, kurang dari 10 MW) tetap relatif kecil (sekitar 326 MW), tetapi meningkat secara eksponensial (walaupun dari tingkat rendah) sejak tahun 2005, dengan banyaknya proyek yang bermunculan di seluruh Indonesia (terutama di Jawa, Sumatera dan Sulawesi). Baru-baru ini, mulai terjadi peningkatan dalam penggunaan jenis energi terbarukan lainnya, walaupun dalam jumlah yang kurang signifikan. Pada tahun 2018, dua proyek pembangkit bertenaga bayu daratan berskala besar mulai beroperasi (pembangkit Tolo 72 MW dan ladang angin Sidrap 75 MW di provinsi Sulawesi Selatan). Selain itu, empat proyek pembangkit bertenaga surya berskala (cukup) besar 7 MW di Lombok dan Sulawesi mulai beroperasi pada tahun 2018. Indonesia sedang membangun proyek pembangkit listrik tenaga surya terapung dengan kapasitas 145 MW (terbesar di Asia Tenggara) di Jawa Barat, yang tahap konstruksinya dimulai pada awal tahun 2021 (IEEFA, 2020[18]). Walaupun pembangunan ini cukup menggembirakan, diperlukan upaya lebih besar lagi untuk mencapai target yang ditentukan dalam RUEN pada tahun 2025 (lihat Bab 2; Gambar 1.8).

Bahan bakar fosil mendominasi investasi tenaga listrik di Indonesia yang semakin meningkat selama beberapa tahun terakhir. Pembangkit listrik telah mendorong peningkatan investasi tenaga listrik, walaupun pada tahun 2019, 80% dari pengeluaran pembangkit listrik dialokasikan untuk pembangkit listrik bertenaga batu bara. Dengan kata lain, untuk setiap dolar yang dibelanjakan untuk energi terbarukan, lebih dari tiga dolar dihabiskan untuk batu bara. Pembiayaan Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan sumber pendanaan yang besar untuk bahan bakar fosil, jauh lebih besar daripada yang dialokasikan untuk energi terbarukan selama 2016-19. Sebaliknya, pembiayaan swasta menyediakan sekitar separuh dari pendanaan pembangkit listrik energi terbarukan selama periode yang sama (lihat Bab 6). Tren ini tidak sejalan dengan target ambisius Indonesia yang ditentukan berdasarkan Perjanjian Paris dan bertentangan dengan tren global dalam investasi pembangkit listrik energi terbarukan yang sebagian besar telah melampaui tren bahan bakar fosil di banyak negara selama beberapa tahun terakhir (IEA, 2020[19]). Walaupun beberapa perusahaan produsen bahan bakar fosil tradisional semakin menunjukkan minatnya untuk mengembangkan proyek energi terbarukan (beberapa telah memulainya), sebagian besar belum memberikan komitmennya terhadap netralitas karbon, yang berbeda dengan tren global (Financial Times, 2020[20]; IESR, 2021[11]).

Selama dekade terakhir, investasi jaringan listrik mengalami peningkatan walaupun lebih lambat daripada pembangkit listrik. Pembiayaan BUMN merupakan sumber utama pendanaan untuk investasi jaringan listrik karena pelaku swasta dibatasi untuk berinvestasi di segmen pasar ketenagalistrikan tersebut. Terlepas dari peningkatan tersebut, sekitar 50% tambahan pengeluaran diperlukan untuk mengembangkan jaringan listrik dalam jangka menengah berdasarkan Skenario Pembangunan Berkelanjutan dari Badan Energi Internasional (IEA) untuk menghubungkan sistem ketenagalistrikan yang berkembang, terutama energi terbarukan karena biasanya pembangunannya lebih cepat dibandingkan infrastruktur jaringan (IEA, 2020[19]). Dengan membuka peluang lebih besar bagi masuknya investasi swasta ke dalam sektor ini, infrastruktur jaringan listrik di Indonesia akan semakin berkembang (lihat Bab 7).

Berdasarkan data resmi, investasi di sektor energi terbarukan mengalami kelesuan selama satu dekade terakhir. Untuk mencapai target pembangkit listrik energi terbarukan pada tahun 2025 (kecuali pembangkit hidro berskala besar), diperlukan sekitar USD 44,2 miliar2 investasi untuk seluruh pembangkit listrik terbarukan (IESR, 2019[21]). Akan tetapi, nilai investasi dalam bidang energi terbarukan (tidak termasuk pembangkit hidro berskala besar) yang dicapai selama lebih dari beberapa tahun terakhir, jauh lebih rendah dari angka tersebut (lihat Gambar 1.9), akibat kerangka regulasi terkait investasi energi terbarukan yang kurang kondusif dan kerap berubah (lihat Bab 3 dan Bab 5).

Panas bumi mendominasi pasar teknologi pembangkit listrik energi terbarukan, dengan estimasi potensi pasar mencapai USD 21 miliar selama tahun 2020-25 (UK Foreign & Commonwealth Office, 2018[22]). Selama dua dekade terakhir, sektor ini berhasil menarik pengembang asing berskala besar dalam jumlah yang signifikan serta kontraktor rekayasa, pengadaan dan konstruksi (sebagian besar berasal dari Jepang dan Asia Tenggara) berkat adanya beberapa perubahan regulasi (CPI, 2015[23]). Bersama dengan produsen listrik independen (IPP) lokal yang mapan dan besar, investor asing tersebut berpartisipasi dalam pengembangan dan akuisisi beberapa proyek panas bumi terbesar di dunia (misalnya, proyek Sarulla 330 MW di Sumatera Selatan dan proyek Wayang Windu 227 MW di Jawa Barat). Sebaliknya, investasi di proyek mini-hidro dan biomassa dikuasai oleh IPP lokal berskala kecil, yang sering memiliki masalah terkait kemampuan dan kelayakan finansial. (lihat Bab 4).

Sebagai perbandingan, pembangkit listrik tenaga surya dan bayu berskala besar di Indonesia masih tetap berada di tahap awal pengembangan. Saat ini, pasar untuk tenaga surya dan bayu berskala besar masih relatif kecil dan didominasi oleh beberapa IPP asing besar (sebagian besar dari Asia Tenggara dan Australia). Sepanjang 2020-25, kedua teknologi tersebut diperkirakan memiliki potensi pasar sebesar USD 769,3 juta untuk panel surya (di mana USD 675,5 juta adalah untuk sektor panel surya berskala besar) dan USD 1,5 miliar untuk sektor tenaga bayu daratan (UK Foreign & Commonwealth Office, 2018[22]). Untuk melayani pasar energi terbarukan yang kecil, tapi berkembang, Indonesia mulai mengembangkan basis manufaktur lokal kecil yang terutama berfokus pada perakitan komponen impor untuk teknologi surya dan bayu. Namun demikian, dalam hal tenaga surya, panel-panel yang dirakit di dalam negeri relatif lebih mahal dibandingkan dengan panel yang dijual oleh produsen terkemuka di Cina, sebagian karena aturan tingkat kandungan dalam negeri (lihat Bab 4; (IEEFA, 2019[24]; IESR, 2019[25])).

Sebagian besar teknologi energi terbarukan telah dikembangkan dan dioperasikan dengan biaya lebih rendah daripada teknologi gas, BBM, dan bahkan batu bara, sebagaimana ditunjukkan di dalam (IESR, 2019[26]). Rendahnya biaya ini juga disebabkan oleh tarif dalam kontrak perjanjian jual beli tenaga listrik yang ditandatangani pada 2018-21 sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1.2. Walaupun fakta ini menggembirakan, biaya investasi3 beberapa teknologi tersebut tetap tinggi jika dibandingkan dengan biaya produsen internasional. Misalnya, biaya investasi untuk teknologi surya berskala besar (1158 USD/kW pada 2019) dan tenaga bayu daratan (1400-2000 USD/kW pada 2018), lebih tinggi dibandingkan dengan biaya di pasar besar Asia seperti India (618 USD/kW untuk panel surya pada 2019) atau Cina (1170 USD/kW untuk tenaga bayu daratan pada 2018). Hambatan regulasi menghalangi Indonesia untuk mencapai penurunan biaya investasi untuk panel surya (antara 66-85% di pasar besar selama 2010-19) dan tenaga bayu daratan (antara 25-66% di pasar besar selama tiga dekade terakhir) (IRENA, 2019[27]; IRENA, 2020[28]). Pada gilirannya, tingginya biaya investasi ini membatasi daya saing teknologi energi terbarukan dibandingkan dengan teknologi bahan bakar fosil. Menurut IESR, penurunan biaya investasi sebesar 20% dalam teknologi tenaga surya, tenaga bayu daratan, dan panas bumi berskala besar dapat menurunkan biaya Listrik Teraras (Levelised Cost of Electricity/LCOE) sebesar masing-masing 15,3%, 16,5% dan 19,2% (IESR, 2019[25]).

Investasi dalam proyek efisiensi energi belum berkembang dan masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan investasi dalam energi terbarukan. Audit berstandar investasi (investment grade audits/IGA) yang dilakukan terhadap beberapa industri manufaktur dan bangunan pada tahun 2016-18, menunjukkan potensi investasi efisiensi energi untuk pengguna akhir sekitar IDR 290 miliar (USD 20 juta). Namun demikian, hanya sepersepuluh dari jumlah tersebut yang benar-benar diinvestasikan selama periode yang sama (MEMR, 2020[29]). Sektor bangunan industri dan komersial merupakan penerima belanja efisiensi energi terbesar; pada tahun 2020, menurut data resmi, angkanya mencapai masing-masing 80% dan 19,5% dari total belanja efisiensi energi, sementara sisanya diterima oleh sektor bangunan publik.

Bisnis efisiensi energi di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan yang signifikan. Mayoritas pengembang proyek efisiensi energi (termasuk perusahaan jasa energi atau energy services companies/ESCO) di Indonesia adalah perusahaan teknik berskala kecil yang memberikan layanan audit energi dan layanan lainnya (APEC, 2017[30]). Hanya sedikit diantaranya yang memiliki kapasitas untuk menjalankan IGA, sehingga mengakibatkan terbatasnya jumlah IGA setiap tahun, dengan beberapa diantaranya nyaris tidak layak mendapatkan pendanaan perbankan karena isu-isu penting terkait kualitas (misalnya, dalam memproyeksikan arus kas dari penghematan energi) (MEMR, 2020[29]). Beberapa ESCO yang ada juga menghadapi kesulitan dalam mengakses pembiayaan utang, dengan persyaratan agunan yang sangat ketat dari bank komersial (yang tidak menerima arus kas dari hasil penghematan energi sebagai agunan) menjadi hambatan utama (lihat Bab 6). Secara keseluruhan, tarif listrik bersubsidi dan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap peraturan pengelolaan energi (lihat Bab 3) cenderung menghambat efisiensi energi dan membatasi peluang perluasan pasar. Di sektor bangunan komersial, biaya listrik berkontribusi 15% dari biaya operasional dan hal ini menjelaskan mengapa penghematan sebesar 10-35% pada umumnya dianggap tidak signifikan dalam pelaksanaan proyek (APEC, 2017[30]).

Referensi

[30] APEC (2017), Energy Efficiency Finance in Indonesia Current State Barriers and Potential Next Steps, https://apec.org/Publications/2017/10/Energy-Efficiency-Finance-in-Indonesia-Current-State-Barriers-and-Potential-Next-Steps (accessed on 8 April 2020).

[5] BPS (2021), Economic and trade, Badan Pusat Statistik (National Statistics Agency), https://www.bps.go.id/ (accessed on 2 March 2021).

[16] Carbon Tracker (2018), Economic and financial risks of coal power in Indonesia, https://carbontracker.org/reports/economic-and-financial-risks-of-coal-power-in-indonesia-vietnam-and-the-philippines/ (accessed on 15 April 2020).

[23] CPI (2015), Using Private Finance to Accelerate Geothermal Deployment: Sarulla Geothermal Power Plant, Indonesia, http://www.climatepolicyinitiative.org (accessed on 16 April 2020).

[7] DEN (2019), Indonesia Energy Outlook 2019.

[20] Financial Times (2020), US oil producers begin to follow Europe with emissions pledges, https://www.ft.com/content/612e7440-2cc9-425f-8759-631a8194e2d1 (accessed on 3 March 2021).

[19] IEA (2020), Attracting private investment to fund sustainable recoveries: The case of Indonesia’s power sector, IEA, Paris, https://www.iea.org/reports/attracting-private-investment-to-fund-sustainable-recoveries-the-case-of-indonesias-power-sector (accessed on 19 January 2021).

[14] IEA (2020), World Energy Investment 2020, International Energy Agency, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/6f552938-en.

[10] IEA (2017), Energy Efficiency 2017, International Energy Agency, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/9789264284234-en.

[12] IEA (2016), Energy Technology Perspectives 2016, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/energy_tech-2016-en.

[18] IEEFA (2020), Indonesia begins construction of 145MW Cirata floating solar project, Institute for Energy Economics & Financial Analysis, https://ieefa.org/indonesia-begins-construction-of-145mw-cirata-floating-solar-project/ (accessed on 16 April 2021).

[24] IEEFA (2019), Indonesia’s solar policies – designed to fail?, http://ieefa.org/ieefa-report-indonesias-solar-policies-designed-to-fail/ (accessed on 6 March 2019).

[31] IEEFA (n.d.), Indonesia moves forward with plans for 145MW floating solar project, https://ieefa.org/indonesia-moves-forward-with-plans-for-145mw-floating-solar-project/ (accessed on 20 March 2020).

[11] IESR (2021), Indonesia Energy Transition Outlook 2021 - Tracking Progress of Energy Transition in Indonesia, https://iesr.or.id/pustaka/indonesia-energy-transition-outlook-2021 (accessed on 2 March 2021).

[21] IESR (2019), Kebutuhan Investasi Energi di Indonesia (English translation: Energy investment needs in Indonesia), http://iesr.or.id/pustaka/kebutuhan-investasi-energi-indonesia/ (accessed on 3 April 2020).

[25] IESR (2019), Levelized Cost of Electricity in Indonesia - Understanding The Levelized Cost of Electricity Generation, http://www.iesr.or.id (accessed on 6 April 2020).

[26] IESR (2019), Levelized Cost of Electricity in Indonesia - Understanding The Levelized Cost of Electricity Generation, http://www.iesr.or.id (accessed on 6 April 2020).

[17] IRENA (2021), Data & Statistics, https://www.irena.org/Statistics (accessed on 15 April 2021).

[28] IRENA (2020), “Renewable Power Generation Costs in 2019”, https://www.irena.org/publications/2020/Jun/Renewable-Power-Costs-in-2019 (accessed on 2 March 2021).

[27] IRENA (2019), Renewable Power Generation Costs in 2018, http:///publications/2019/May/Renewable-power-generation-costs-in-2018 (accessed on 16 December 2020).

[29] MEMR (2020), Data & Information of Energy Conservation 2019, 3rd Edition, Directorate of Energy Conservation, Ministry of Energy and Mineral Resources, http://www.ebtke.esdm.go.id (accessed on 15 December 2020).

[8] MEMR (2017), “Rencana Umum Energi Nasional (RUEN, General National Energy Plan)”.

[9] Ministry of Environment and Forestry (2019), Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2018 (Greenhouse Inventory and Monitoring, Reporting, Verification (MRV) report 2018).

[32] OECD (2021), Clean Energy Finance and Investment Mobilisation, http://www.oecd.org/cefim/ (accessed on 5 March 2021).

[34] OECD (2021), Economic Surveys of Indonesia 2020 - Upcoming.

[3] OECD (2021), OECD Economic Surveys: Indonesia 2021, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/fd7e6249-en.

[2] OECD (2020), OECD Investment Policy Reviews: Indonesia 2020, OECD Investment Policy Reviews, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/b56512da-en.

[6] OECD (2020), OECD Tourism Trends and Policies 2020, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/6b47b985-en.

[1] OECD (2019), OECD Green Growth Policy Review of Indonesia 2019, OECD Environmental Performance Reviews, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/1eee39bc-en.

[33] OECD (2015), Policy Guidance for Investment in Clean Energy Infrastructure: Expanding Access to Clean Energy for Green Growth and Development, OECD Publishing, Paris, https://dx.doi.org/10.1787/9789264212664-en.

[4] Oxford Business Group (2018), The Report: Indonesia 2018, https://oxfordbusinessgroup.com/indonesia-2018 (accessed on 17 February 2020).

[13] PLN (2019), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN 2019 - 2028 (PT PLN Power Supply Business Plan 2019-2028), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) , Jakarta, https://gatrik.esdm.go.id//assets/uploads/download_index/files/5b16d-kepmen-esdm-no.-39-k-20-mem-2019-tentang-pengesahan-ruptl-pt-pln-2019-2028.pdf (accessed on 16 December 2020).

[15] Sanchez, L. and B. Luan (2018), The Health Cost of Coal in Indonesia, IISD, http://www.iisd.org/gsi (accessed on 11 February 2021).

[22] UK Foreign & Commonwealth Office (2018), “Indonesia Renewable Energy Business Opportunities”.

Catatan

← 1. “10 Bali Baru” mengacu pada rencana pemerintah untuk mempromosikan 10 destinasi wisata baru di Indonesia termasuk: Candi Borobudur (Jawa Tengah); Belitung (Sumatera); Gunung Bromo (Jawa Timur); Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur); Danau Toba (Sumatera Utara); Kepulauan Seribu (Jakarta); Mandalika (Nusa Tenggara Barat); Wakatobi (Sulawesi Tenggara); Tanjung Lesung (Banten); dan Morotai (Maluku Utara).

← 2. Termasuk pembangkit listrik tenaga hidro berskala besar, total kebutuhan investasi mencapai USD 72,5 miliar (atau USD 7,25 miliar per tahun).

← 3. Biaya investasi biasanya terdiri atas biaya peralatan (biasanya di atas 50%), biaya instalasi dan logistik serta biaya prapengembangan (misalnya, biaya terkait dengan proses perizinan, pembebasan lahan).

Metadata, Hukum dan Hak

Dokumen ini, serta data dan peta apa pun yang disertakan di sini, tidak mengurangi status atau kedaulatan atas wilayah mana pun, terhadap penetapan batas dan batas internasional, dan terhadap nama wilayah, kota, atau wilayah mana pun. Informasi yang diambil dari publikasi dapat dikenakan penafian tambahan, yang ditetapkan dalam versi lengkap publikasi, yang tersedia di tautan yang disediakan.

© OECD 2021

Penggunaan karya ini, baik digital atau cetak, diatur oleh Syarat dan Ketentuan yang dapat ditemukan di http://www.oecd.org/termsandconditions.